Kecupan Pertama (1)

3.1K 163 0
                                    

Tidak mudah mengusir pesona lelaki baru yang mencuri perhatian kita sekalipun kita menyatakan masih mencintai pacar pujaan hati.


Mereka duduk di teras rumah Nona. Nona menempelkan kain basah tepat di sudut bibir Billy yang luka. Ada rasa canggung yang tiba-tiba menyergap Nona. Dia terlihat kaku. Matanya lebih banyak menunduk menghindari tatapan Billy. Setelah beberapa kali mengusap bibir itu, dia baru menjauhkan diri.

“Sorry ya, Bil.”

“Bukan salahmu,” potong Billy cepat sambil berdiri. Dia justru duduk mendekati Nona.

Nona menoleh kebingungan. Antara ingin menggeser duduknya atau diam saja. Akhirnya memilih diam. “Masih sakit?” tanya Nona mencoba menghilangkan rasa resahnya.

“Udah nggak sakit setelah kamu pegang,” jawab Billy polos mengawasi Nona membuat paras gadis itu menghangat. Melihat itu Billy menjadi geli. Bibirnya menekuk menahan tawa. Nona sadar betul apa yang sedang terjadi. Sial, dia menggodaku.

“Aku buatin teh hangat dulu, deh.” Nona segera bangkit memasuki rumahnya. Saat itulah Billy melepaskan tawanya. Entah mengapa dia jadi ingin menggoda. Dia jadi ingin tahu apa alasan Nona lebih memilih untuk menolongnya dari pada menolong Marvin. Bukankah Marvin masih menjadi pacar Nona?

Sebenarnya Billy juga tidak ingin merebut pacar orang. Tapi kalau ternyata Marvin juga melakukan hal yang sama, pergi dengan gadis lain padahal sudah punya pacar, lalu apa salahnya mengajak Nona jalan?

Lagi pula Billy juga merasa dia punya perasaan ganjil pada Nona. Entahlah apakah ketertarikan ini bisa disebut dengan jatuh cinta. Jatuh cinta pada pacar teman sendiri. Teman yang menurutnya brengsek. Suka ganti cewek seperti ganti baju. Puas dengan satu cewek tapi masih penasaran pada cewek lain. Nah, apa namanya kalau bukan cowok brengsek?

“Diminum tehnya, Bil.” Nona keluar dengan secangkir teh hangat. Dia meletakkan teh itu di samping Billy. Tapi dia memilih duduk menjauh. Bagaimana pun dia harus menjaga jarak dengan Billy. Dia tidak lupa statusnya sekarang masih sebagai pacar Marvin. Dia tidak ingin dikatakan seperti sedang berselingkuh.

Billy menyipitkan mata ketika Nona lebih memilih duduk menjauh. Tapi hanya beberapa detik, kemudian dia mengambil teh itu lalu menghirupnya. “Marvin sering memperlakukanmu begini?”

“Memperlakukanku bagaimana?” tanya Nona agak bingung.

“Pergi sama cewek lain.”

“Dia tadi kemari ngajak jalan. Tapi aku tolak. Jadi wajarlah kalau dia pergi sama cewek lain.”

“Wajar? Jadi menurut kamu ini suatu hal yang biasa?”

“Yah, mungkin aja dia lagi butuh hiburan. Pergi sama cewek lain belum tentu berselingkuh, kan? Sama halnya seperti kita. Kita pergi bareng tapi hanya sebatas teman.”

Sekali lagi Billy mengawasi Nona. Kali ini lebih lama. Membuat Nona gelisah lagi. “Gimana kalau aku mengharap lebih dari berteman?”

“Maksud kamu?”

“Betul-betul nggak ngerti apa yang aku maksud?”

Mendengar pertanyaan balik Billy, Nona tercekat. Sungguh, dia tidak menyangka Billy akan berani berkata demikian. Dia mengira Billy sama seperti temannya yang lain. Seperti David. Atau Revan. Atau Wito.

Apakah mengharap lebih dari berteman itu berarti menjalin kasih? Apakah itu berarti Billy punya perasaan lain padanya? Sayang? Cinta?

Ya, Tuhan. Nona bingung harus menjawab apa. Jujur saja dia tidak punya rasa apa-apa pada Billy. Dia hanya menganggap Billy sebagai teman saja. Meskipun mereka belum lama dekat. Lagi pula dia masih ada ikatan dengan Marvin. Dia sangat menyayangi Marvin dan belum ingin berpisah dengan Marvin. Dia masih belum bisa mengusir pesona Marvin dari dalam kepala dan hatinya.

Ketika Nona masih diliputi kebingungan, ponselnya berdering. Segera diangkatnya dan berpikir sebentar sebelum menerimanya setelah membaca nama Mia yang muncul di layar ponsel.

Mia? Ada apa menelepon pada pukul sembilan malam? Tidak biasanya. Bukannya curiga lebih jauh, Nona berlagak masa bodoh kemudian mengucap halo.

“Non, ngapain lo pergi sama Billy?” suara nyinyir Mia langsung terdengar tanpa menghiraukan sapaan Nona. Spontan Nona sedikit menjauhkan ponsel itu dari telinganya.

“Apaan sih, Mia? Baru juga telepon langsung interogasi,” sahut Nona kesal. “Lagian lo tahu dari mana gue pergi sama...” seperti menyadari sesuatu, Nona melirik Billy. Tepat saat Billy juga menatapnya penuh selidik.

“Nih, si Monic di kost gue. Dia udah cerita semuanya,” suara Mia terdengar bengis.

Apa juga maksudnya? Padahal masalah tadi tidak ada sangkut pautnya dengan Mia, bukan? “Emang dia cerita apa?”

“Cerita lo pergi sama Billy.”

“Emang kenapa kalau gue pergi sama dia?” Nona sengaja mengubah nama Billy dengan kata 'dia'. Dia merasa tidak nyaman menyebut nama Billy di depan cowok itu.

“Loh, kok balik tanya kenapa? Lo amnesia atau alzheimer sih?” geram Mia semakin jengkel. “Marvin mau lo museumkan?”

“Lo nggak tanya Monic jalan sama siapa?” Nona menahan kejengkelannya. “Pantes nggak dia jalan sama cowok sahabatnya sendiri?”

“Dia bilang cuma iseng aja.”

“Sama. Gue juga iseng aja.”

“Tapi dengan ngajakin Billy keluar, berarti lo kasih harapan sama dia.”

“Bodo'.” Nona semakin kesal. Tidak biasanya Mia sok ingin tahu ini dan itu. Sok ngatur. Sok ikut campur. Mia memang cerewet. Tapi tidak pernah seberani ini. Apa karena Mia naksir Billy? Mia tidak rela Billy jalan dengan Nona dengan alasan apa pun?

“Siapa sih?” Billy tidak mampu lagi menahan rasa penasarannya. Karena terlalu keras, Mia yang masih di ujung telepon semakin memanas.

“Siapa sih, Non?” selidik Mia curiga. “Billy ya? Jadi sekarang lo masih sama Billy? Non, lo...”

Nona tidak mau lagi mendengar ocehan Mia. Jadi dengan tega, dia memutuskan sambungan telepon. Dia pusing. Tidak ingin lagi mendengar tuduhan Mia yang menjengkelkan.

“Mia,” sahut Nona pendek. “Sudah lebih jam sembilan, Bil. Mending kamu pulang.”

“Oke, aku pulang. Besok aku jemput, ya.”

“Eh, nggak usah. Ngapain juga dijemput. Aku biasa dianter Papa, kok,” cegah Nona takut-takut. Kalau Marvin juga menjemputnya... bisa kacau.

“Kalau udah biasa dianter Papa, berarti besok giliranku,” ucap Billy mantap tanpa menghiraukan wajah Nona yang berubah resah. Rasanya dia ingin tertawa.

“Jangan, Bil. Kapan-kapan aja deh.”

“Nggak ada ralat tuh,” jawab Billy santai. Kemudian tanpa diduga sedikit pun, secepat kilat Billy menyorongkan wajahnya lalu mengecup pipi kiri Nona. Seketika Nona membeliak kaget.

***

Love Is You (Tamat)Where stories live. Discover now