Beda Rasa (2)

2K 132 0
                                    

Monic sedikit tergesa-gesa berjalan menuju taman kota yang dimaksud Marvin. Marvin mengajaknya bertemu melalui sebuah pesan singkat. Kepalanya beberapa kali menoleh ke belakang. Takut mobil Rambo belum melaju. Atau justru melaju tapi berhenti di ujung sana. Tapi seingat Monic tadi setelah berbohong bahwa dia ada janji dengan kakaknya di depan sebuah mini market, Rambo sudah meninggalkannya. Meski awalnya Rambo bersikeras untuk menemaninya menunggu adiknya. Tapi sekuat tenaga Monic menyuruhnya pulang.

“Nggak apa-apa, Ram. Kamu pergi aja. Kakakku udah di toko buku kok. Bentar lagi juga muncul.”

“Ya nggak apa kali, Nic, aku ikutan nunggu. Sekalian ngobrol. Siapa tahu kakakmu malah lupa sama janjinya.”

“Nggak akan. Udah ya sana pulang,” kata Monic sambil mendorong punggung Rambo supaya segera memasuki mobilnya.

“Beneran nih?”

“Beneran.”

Karena Rambo masih ragu-ragu, Monic melayangkan kecupan manis di pipi lelaki itu. Membuat Rambo refleks membalas mencium pipi Monic juga. Kemudian dia tersenyum.

“Hati-hati, ya. Daaaah,” Monic menutup pintu mobil itu kemudian melambaikan tangannya. Baru setelah melihat mobil Rambo melesat agak jauh, Monic bertolak ke belakang. Dia menyusuri jalan kecil setelah menyeberang di jalan raya yang padat. Dia mencari bangku taman yang ditunjukkan Marvin.

Tapi setelah Monic sampai di bangku taman itu, dia tidak melihat Marvin. Hanya orang lalu lalang yang sedang menikmati ramainya kota di malam hari.

Monic berusaha memanjangkan lehernya untuk mencari sosok Marvin. Tapi tidak ada. Dia sudah menggerutu dalam hati. Awas saja kalau sampai Marvin mempermainkannya. Dia tidak suka diusili begini. Bikin gondok saja!

Monic sudah akan menuliskan pesan kepada Marvin ketika seseorang memeluk lehernya tiba-tiba. Karena terkejut, Monic menyodok rusuk orang itu kemudian melompat berbalik untuk menghindar. Dikiranya copet atau orang jahat.

Tapi setelah melihat seseorang yang meringis kesakitan sambil menekuk tubuhnya, Monic lebih kaget lagi.

“Marvin!”

“Ya, ampun, Nic. Aw, sakit. Kamu tega ya!”

“Aku nggak tahu kalau itu kamu.” Monic masih merasa tidak bersalah. Salah sendiri. Ngapain bikin orang kaget di tempat umum.

“Aah, rasanya aku pengen balas kamu. Sudah dua kali kamu nyerang aku.” Marvin berusaha menegakkan kembali badannya masih dengan wajah ditekuk kesakitan.

“Hah, cowok apaan yang mau balas cewek!”

Monic sudah mundur selangkah ketika melihat Marvin mendekatinya sedikit sempoyongan. Tanpa diduga, Marvin menggapai cepat tubuhnya. Dan sebelum dia sempat menghindar, bibir Marvin sudah membelai bibirnya dengan hangat.

***

Sudah hampir dua minggu Billy tidak bertemu Nona. Rasanya kangen sekali. Terakhir bertemu saat dia memergoki Nona sedang berganti baju di dalam kamar mandi rumahnya. Kalau teringat itu, Billy tersenyum geli sekaligus bergairah.

Ah, Nona. Semakin gadis itu menghindar semakin penasaran pula Billy mengejarnya. Apalagi Billy tahu persis lelaki seperti apa Marvin itu. Dia tidak rela kalau Nona bersama Marvin. Bisa-bisa sakit hati setiap hari.

Rasa kangennya sudah tak tertahankan. Dia sudah selesai menempuh perkuliahan. Sidang skripsinya sudah dilalui dengan nilai yang sangat memuaskan meski tidak dengan pujian. Wisudanya juga sudah dilaksanakan satu minggu yang lalu. Karena itu dia sudah tidak pernah ke kampus lagi. Kerjaannya setiap hari di rumah menunggu panggilan test tulis atau test interview dari beberapa perusahaan yang dilamarnya. Ingin nongkrong tapi dia sudah tidak akur dengan Marvin. Ingin mengajak David, tapi Billy yakin kalau David akan mengajak Marvin. Jadi dia bingung harus ke mana.

Dia sudah menanyakan berkali-kali kapan Nona akan datang kemari lagi kepada mamanya. Tapi yang ada mamanya jadi curiga.

“Kenapa sih? Kamu naksir Nona ya?” tanya Mama Susi sambil tersenyum lembut.

“Ah, cuma tanya doang udah dibilang naksir.” Billy mengelak.

“Naksir juga nggak apa. Mumpung belum jadi milik orang lain.”

“Nona sudah punya pacar.”

“Baru juga pacar. Belum bersuami.”

“Hah, Mama mau suruh Billy ngerebut pacar orang?” Billy memang kaget dengan pernyataan mamanya. Padahal sebenarnya dia sudah lama ingin merebut Nona dari Marvin. Dia hanya tidak mengira bahwa mamanya memiliki pemikiran yang sama.

“Yah, ngerebut atau nggak, tergantung cara kamu mendapatkannya. Bisa nggak dengan cara halus tanpa dibilang ngerebut.” Mama Susi berkata dengan santainya seolah-olah yang dikatanya hanya harga cabai yang sudah turun. Dia melenggang pergi ke dalam kamarnya. Setelah beberapa detik baru Billy tersenyum lucu.

Sepertinya, perkataan mamanya menjadi penyulut semangatnya. Dia segera menyambar jaket dan helmnya. Melajukan motornya ke kampus Nona.

***

Vote ya.
Hari minggu yang hangat.

Love Is You (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora