Beda Rasa (1)

2.2K 145 0
                                    

Apa namanya perasaan ini? Ketika hatimu berdebar tak tenang saat bertemu pandang dengan lelaki yang kamu yakini sebelumnya tak akan mampu menarik hatimu.

- Nona -


Dugaan Nona benar. Di luar memang sedikit mendung. Tapi terlambat untuk kembali. Mereka sudah setengah perjalanan.

Nona melajukan motornya lebih kencang. Supaya lekas sampai. Tapi sayangnya hujan itu tidak bisa ditunda lagi, tiba-tiba saja sudah mulai gerimis.

"Pake jas hujan deh, Non!" Mama Arni berusaha menghentikan Nona. Dia tidak mau Nona basah kuyup. Kalau dia sendiri bisa berlindung di belakang anaknya.

"Tanggung, Ma. Sebentar lagi juga sampai."

"Tapi make up Mama bisa luntur, Non."

"Makanya minta beliin mobil lagi sama papa. Mobil sih cuma punya satu. Tiap hari dibawa kerja papa sampai malam. Aku kapan kebagiannya?!"

"Eh, cuma disuruh pakai jas hujan kok malah ngelantur ke mana-mana! Papamu itu mau beli tanah. Buat investasi. Bukan mobil."

Nona mendengus kesal. Tadi disuruh naik taksi nggak mau. Giliran make up luntur malah panik.

Ah, sebenarnya kekesalan Nona lebih karena kekhawatirannya bertemu dengan Billy. Dia pasti akan merasa canggung dan tidak mampu menatap mata cowok itu. Bukan karena mengantar Mama. Kalau hanya mengantar Mama dia juga sering. Ke pasar, ke mall, ke rumah nenek... Semoga saja Billy tidak ada di rumahnya.

Dan sepertinya harapan Nona terkabul. Setelah beberapa menit duduk di ruang tamu rumah Billy, Nona tidak melihat ada sosok Billy. Padahal suara Tante Susi ramai sekali.

"Ya, ampun. Kamu basah, Non. Sini ganti pakai baju Tante. Kalau dibiarin basah nanti masuk angin loh."

"Oh, nggak perlu Tante. Cuma basah sedikit."

Tapi Tante Susi sudah tidak mendengarnya. Dia sudah melesat ke dalam mengambil sebuah blouse lengan panjang.

"Nggak apa-apa, Non. Bagian depan baju kamu basah, tuh. Kalau Mama kan nggak kena gerimis, karena ketutupan badan kamu," kata Mama Arni sambil tersenyum lucu.

"Emang Mama mau berapa lama sih di sini? Kok sampai aku harus ganti baju segala?" Sebenarnya dia juga merasa risih pakai baju basah begini. Tapi kalau harus pake baju Mama Billy, dia juga merasa tidak nyaman.

Nona tidak bisa lagi mengelak. Tante Susi menyuruhnya mengganti baju seolah-olah dia sudah kehujanan tiga hari.

Akhirnya dengan langkah ragu-ragu, Nona memasuki sebuah kamar mandi yang tidak jauh dari ruang keluarga. Sepi. Televisi mati. Tidak ada Billy. Sebenarnya dia ingin bertanya pada Tante Susi mengenai keberadaan Billy. Tapi dia takut Tante Susi akan bertanya macam-macam.

Jadi benar dugaannya, Billy tidak ada di rumah. Nona menarik nafas lega. Dia langsung menyelinap masuk sambil menenteng baju Tante Susi.

Nona berdiri membelakangi pintu kemudian mulai melepas baju yang dikenakanya. Sebelum dia mengenakan baju kering itu, Nona melepas baju dalamnya sebentar untuk dilap dengan handuk. Karena rasanya dingin sekali.

Nona sudah akan memakai kembali baju dalamnya ketika tiba-tiba pintu di belakangnya didorong sedikit kuat.

Nona memekik tertahan sambil mengikuti nalurinya untuk memeluk tubuhnya erat-erat dengan baju yang sedang dipegangnya. Karena tubuhnya kini hanya ditutupi oleh celana jeans saja. Dia langsung panik dan berusaha menoleh ke belakang dengan dahi berkerut. Kemudian seseorang yang dilihatnya membuatnya terbelalak. Billy!

Billy juga tak kalah kagetnya ketika menemukan Nona berada di dalam salah satu kamar mandi di rumahnya. Dia terlongong dengan tubuh mematung seperti vampire kena totok. Mengawasi takjub pemandangan putih mulus di depannya.

"Billy, keluar!" teriak Nona marah bercampur malu. Karena Billy bukannya segera pergi, tapi tatapannya seperti sedang mengagumi sesuatu. Nona benci sekali dengan sorot mata seperti itu. Benci sekaligus gelisah.

Mendengar teriakan Nona, Billy baru tersadar dari pesona yang baru saja menerpanya. Setelah itu senyum tipisnya mengembang, tersungging dengan sebelah sudut bibir terangkat. Terkesan menggoda.

"Oke, sori."

Billy menutup pintu itu perlahan. Kemudian melebarkan tawa tanpa suara. Sedangkan di dalam kamar mandi itu, bergegas Nona mengenakan bajunya. Bergegas pula dia keluar.

Tapi saat melewati ruang keluarga, dia mendengar suara televisi dan melihat Billy sedang duduk bersilang kaki di sofa sambil memamerkan senyum menggodanya.

***

Monic duduk tenang di deretan kursi paling belakang di sebuah kafe tempat Marvin dan David beraksi. Sudah sekitar satu jam yang lalu dia duduk di sini bersama Rambo. Sudah banyak hal yang diceritakan Rambo padanya. Dan semua cerita tidak jauh-jauh dari kegiatannya nge-gym.

Sebenarnya Monic suka sekali olah raga. Dia kenal dengan Rambo juga di gym. Jadi selera mereka terhadap olah raga memang sama. Apa lagi Rambo memang bukan sosok memalukan untuk dikenalkan sebagai pacar. Bukan hanya badannya saja yang kekar, tapi dia juga punya hati yang baik. Tidak pernah terlibat telepon atau berkirim pesan dengan gadis lain selama bersama Monic. Yah, kalau di belakang Monic, mana tahu!

"Kayaknya lagi bete nih?" tanya Rambo karena merasa tidak begitu mendapat respon lebih ketika dia bercerita. Jadi lebih baik berhenti saja bercerita dari pada Monic tidak fokus.

"Nggak juga. Cuma capek aja," jawab Monic pendek kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Tapi nada suara dan raut wajahnya tidak jauh-jauh dari raut jutek.

"Harusnya tadi bilang kalau kamu capek. Kita bisa ngobrol di rumahmu aja," kata Rambo sabar.

"Oke deh. Bentar lagi kita pulang aja ya."

Rambo mengiyakan kemudian melihat sajian lagu yang dibawakan David. Begitu pula Monic. Monic juga melihat mereka. Khususnya melihat Marvin.

Sepertinya Marvin tidak menyadari kehadirannya di sini. Terbukti mereka tidak pernah berpapasan mata. Mungkin karena letak kursi Monic yang agak jauh. Padahal Monic ingin Marvin tahu keberadaannya. Dia ingin tahu bagaimana wajah cowok itu kalau tahu ada dia di sini. Apakah tetap sejail dulu atau berubah?

Monic merasa aneh saja saat pada malam tantangan itu, ketika dia sudah berada di rumahnya, Mia telepon bahwa Mia baru saja menelepon Nona. Dan cerita selanjutnya membuat Monic mengerutkan kening.

Marvin mendatangi rumah Nona dan meminta maaf kepada pacarnya itu. Padahal Monic sadar betul bagaimana sorot nakal Marvin ketika mengaguminya ketika masih di plaza. Yah, barangkali memang benar bahwa Marvin itu betul-betul playboy. Tapi entah mengapa ketika mendengat Marvin sudah baikan dengan Nona, dia merasa tidak tenang. Seperti merasa kehilangan sesuatu. Kehilangan pengagum? Penggoda?

"Yuk deh, kalau mau pulang," ajak Rambo ketika pemain band itu telah selesai.

Monic menoleh kemudian ikut berdiri. Dia menyejajari Rambo kemudian menuju tempat parkir. Ketika Rambo membuka pintu mobilnya, mobil besar sebesar pemiliknya, Monic tersenyum manis.

Dan baru semenit dia duduk, ponselnya berdering kecil. Tanda pesan masuk. Kemudian dia mengerutkan kening ketika membaca siapa pengirimnya.

***

Vote ya dan follow akun ini. Thanks.

Love Is You (Tamat)Where stories live. Discover now