Love Is You

6.3K 200 10
                                    

Suasana pagelaran busana di salah satu kota di Pulau Bali yang sudah dinantikan para fashion designer itu terlihat gemerlap. Di belakang panggung, para model sudah siap dengan riasan dan busana keren mereka. Tak terkecuali Laras yang juga ikut meramaikan acara ini. Meski dia bukan designer, tapi dia bekerja sama dengan sahabat-sahabatnya dalam membuka bisnis baru di Pulau Dewata ini.

Untuk penampilan mereka dalam dunia fashion, mereka memutuskan untuk memamerkan hasil karya gaun pengantin yang dipadukan dengan kain batik bali. Dengan untaian payet-payet, kain brukat dan segala macam renda, membuat rancangan mereka begitu terkesan mewah. Bahkan gaun paling utama dikenakan oleh Laras.

Laras menolak mentah-mentah ketika Nona memintanya untuk memeragakannya. Dia bukan model. Meski tubuhnya masih sangat langsing di usia tiga puluh tahun, tidak pendek, dan sangat cantik, tetap saja Laras tidak mau mengenakannya.

Dia baru merasa tersudut ketika Elsa, sahabat yang berkontribusi hampir seratus persen dalam acara mereka juga memaksanya untuk mengenakannya. Dia jadi heran, untuk apa mereka mencari model kalau gaun utama mereka justru dia sendiri yang mengenakannya.

“Ayolah, Bu Laras. Sayang sekali kan kalau bukan pemilik sendiri yang mengenakan,” bujuk Nona ketika Laras mengundangnya dalam acara ini. Karena acara ini diadakan hari minggu, Nona membawa serta kekasihnya, Billy.

“Jangan main-main, Nona. Ini bukan acara sembarangan. Ini kesempatan kita untuk memperkenalkan bisnis baru kita di sini.”

“Tidak apa, Ras. Kamu cocok sekali loh sebenarnya jadi model, meski tinggimu kurang. Kita pakai high heels sepuluh centi, ya?” sambung Elsa tidak mau kalah.

Laras tidak bisa menolak lagi. Mendapat semangat seperti itu mendadak membuat Laras jadi tertantang juga. Dia ingin mengenakan gaun pengantin itu. Barangkali untuk mengenang pernikahannya dulu yang sepertinya sebentar lagi akan berakhir. Meski Febrian beberapa hari yang lalu sudah menyuguhkan percintaan yang menggelora, Laras tidak berani berharap banyak.

Nona bertepuk tangan keras ketika melihat Laras muncul di atas catwalk sebagai model terakhir. Billy juga ikut bertepuk tangan. Sedangkan Marvin dan Monic yang berada agak jauh dari mereka kini telah menggendong seorang bayi. Mereka tetap saling sapa ketika bertemu di pintu masuk tadi. Meski sapaan mereka masih sangat kaku. Yah, wajar saja jika mereka tidak bisa berdamai seperti dulu lagi. Sakit hati pada masa lalu tidak akan mudah sirna meski waktu sudah menelannya.

Di sebelah Monic, Nona melihat Mia dan David. Ternyata mereka juga ikut hadir. Mungkin Monic yang mengajak. Setelah beberapa minggu tidak bertemu, rasanya Nona ingin menyapa Mia. Tapi ah, entahlah, sepertinya dia terlalu gengsi jika harus menyapa di depan Monic. Barangkali benar, persahabatannya sudah lama hancur. Bahkan sudah lenyap sebelum peristiwa perselingkuhan itu terjadi.

Nona tersenyum kecut mengingat itu semua. Terlebih lagi jika mengingat Febrian. Hm, di manakah lelaki itu sekarang bersembunyi? Tepat ketika Nona menolehkan kepalanya mencari Febrian, Laras sudah sampai di ujung catwalk diikuti para model lainnya. Ketika Elsa yang berada di samping Laras melambaikan tangannya menandakan ucapan terima kasih, Febrian muncul sambil membawa buket mawar merah.

Lelaki itu dengan tenang naik ke atas catwalk lalu berhenti tepat di depan Laras. Tersenyum lembut sambil mengeluarkan seuntai kalung dari kotak panjang yang dibawanya lalu memakaikannya di leher Laras.

“Apa... Apaan ini, Mas?” bisik Laras terkejut.

“Kita tidak akan bercerai, Sayang. Aku masih mencintaimu. Semua ini rencana Nona.”

Laras langsung mencari sosok Nona dan melihat gadis itu melambaikan tangan padanya.

Mata Nona berkaca-kaca melihatnya. Apalagi ketika melihat betapa kagetnya wajah Laras, Nona menangis dalam tawa. Setelah menarik nafas panjang, Nona bersyukur dengan apa yang yang sudah mereka lewati. Segala permasalahan, perselisihan, dan kesalahpahaman, bisa luluh dalam sebuah rasa yang disebut... cinta.

***

Billy dan Nona berdiri di pinggir pagar kapal yang membawanya ke Nusa Penida. Deburan ombak dan luasnya lautan menjadikan suasana menjadi kian romantis. Seolah-olah di kapal ini hanya ada mereka berdua. Padahal Febrian, Laras, Marvin, Monic, Mia, dan David ada di belakang mereka. Meski jaraknya agak jauh, tetap saja mereka dapat melihatnya. Ada yang tertawa. Ada pula yang hanya tersenyum. Namun ada pula dua orang yang terdiam tidak menanggapi. Dan dua orang itu adalah Marvin dan Febrian. Meski mereka kini sudah didampingi oleh wanita yang dicintainya, tapi bagaimanapun juga sosok Nona pernah hadir dalam kehidupan mereka.

Billy memeluk Nona dari belakang sambil mencium samping kepala Nona. Semakin keras angin berhembus, semakin erat pula pelukannya.

“Kamu tahu, Sayang, mengapa aku masih sendiri saat resign kerja?” Nona menggumam kemudian sedikit menolehkan kepalanya untuk melihat wajah Billy. “Karena saat cinta sudah menyentuh hatimu, kamu tidak akan membiarkannya luruh. Kamu baru akan melepaskannya saat kamu merasa tidak mampu mempertahankannya lagi. Dan itu yang membuatku kagum padamu.” Billy mengambil sebelah tangan Nona. “Aku juga menginginkan cinta itu. Cinta yang tak mudah sirna saat kamu tahu bahwa lelaki yang kamu pilih tidak sesempurna dugaanmu.”

“Billy, aku sudah melupakannya. Dia hanya masa lalu. Bahkan ketika mereka menikah, yang ada dalam pikiranku hanyalah kamu. Saat kamu memutuskan untuk pergi jauh.”

“Aku pergi karena kamu menolakku.”

“Saat itu aku betul-betul kacau. Rasanya hampir hancur. Tapi Mama selalu menyemangatiku dan selalu bilang bahwa hidup ini terlalu indah jika hanya untuk memikirkan lelaki brengsek,” Nona tersenyum pahit. “Dan pekerjaan baruku membuatku perlahan melupakannya. Melupakan rasa yang pernah ada di sini,” Nona menunjuk dadanya. “Tapi tetap tidak bisa melupakanmu.”

“Jadi dulu kita sama-sama menderita?” Billy melebarkan senyumnya. Lalu tertawa kecil. Nonapun ikut tertawa getir.

“Lebih menderita karena ternyata bukan kamu yang melamarku lebih dulu.”

Nona melirik ke belakang, mencari sosok Febrian. Dia hanya ingin tahu sedang apa Febrian dengan istrinya. Ternyata mereka sedang mengobrol, sepertinya mesra. Lalu Nona menarik nafas lega.

“Sekarang kamu bahagia, kan?”

“Kita bahagia,” ralat Nona kemudian tersenyum lembut.

“My love will make you happy. Because my love is you.”

Tanpa dapat menahan lagi, Nona berbalik lalu membenamkan kepalanya di dada bidang Billy. Memeluknya dengan hangat. Terasa begitu nyaman. Dia bahkan memejamkan matanya untuk meresapi betapa damainya berada dalam pelukan Billy. Apalagi ketika lengan kokoh Billy juga lebih erat memeluknya.

Tak ada lagi keraguan dalam hatinya. Inilah lelaki yang dicintainya. Dimimpikannya tiap malam. Lelaki yang juga menyimpan cinta yang sama. Cinta yang tulus dan tak mudah rapuh meski dilema seringkali menyambanginya. Meski beberapa tahun telah berlalu, cintanya tetap saja berkobar. Seperti kobaran api yang takkan mudah padam walau gerimis mencoba melenyapkan letupannya.

***

Taraaa akhirnya end juga ya.
Makasih banget buat yang udah baca cerita Billy Nona dari awal sampai akhir. Makasih juga buat komen dan votenya. Jangan lupa baca ceritaku yg lain: Invidious.

Love Is You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang