Jalan Berdua (1)

2K 135 0
                                    

Bagaimana rasanya jalan bareng dengan cowok/cewek yang tanpa kita sadari ada di ruang khusus dalam hati kita?

Deg-degan?

Billy berhenti di seberang jalan gerbang kampus. Dia duduk di atas sadelnya seperti pengintai. Di bawah pohon yang cukup sejuk. Suasana kampus tidak seramai biasanya. Karena ini bertepatan dengan ujian semester. Jadi tidak semua mahasiswa masuk bersamaan. Ada jadwal tertentu.

Hampir setengah jam Billy menunggu. Tapi belum juga melihat Nona. Barangkali Marvin sudah mengantar Nona pulang. Pikir Billy lemas. Bukankah sejak Billy melihat Marvin dan Nona akur di teras rumah gadis itu beberapa minggu yang lalu menandakan bahwa Marvin tidak akan mengabaikan gadisnya lagi?

Kalau mengingat adegan itu, ingin sekali Billy turun dari motornya kemudian menghajar Marvin sedemikian rupa. Dia tidak rela bibir Nona harus dikotori oleh bibir pengucap dusta itu.

Ah, tapi dia bisa apa. Dia datang belakangan. Bahkan dulu dia tidak sadar ada gadis semenarik Nona. Dia baru mengenal Nona sejak Marvin mengenalkannya sebagai kekasih barunya. Jadi kalau Nona sudah terlanjur menyukai Marvin, perlu waktu lama untuk mengubah haluan cinta Nona.

Dan sepertinya usahanya untuk mengubah haluan itu belum juga berhasil. Tapi dia tidak akan menyerah seperti tekadnya selama ini. Seperti hari ini pula.

Setelah lelah menunggu, Billy mulai melihat Nona berjalan sendiri sambil menunduk seperti menghindari sinar matahari yang terik. Rambutnya yang pendek itu diekor kuda. Celana jeans dan kemeja berbahan kaus lengan panjang berwarna biru tua sangat pas dikenakannya. Sepatunya juga flat shoes yang kelihatannya nyaman sekali dibuat jalan. Billy tersenyum lembut mengawasinya dari kejauhan.

Tapi mengapa dia pulang sendiri? Di mana Marvin? Monic? Mia? Ah, mereka memang tidak sebaik yang disangkanya!

Lalu tanpa berpikir lagi, Billy mengarahkan motornya ke samping Nona. Sejenak Nona tercekat.

“Billy.” Nona begitu terkejut melihat kehadiran Billy di sampingnya. Tiba-tiba saja dia merasa malu. Dia teringat kejadian dua minggu yang lalu saat Billy melihat punggungnya yang terbuka... lalu wajahnya menghangat. Dia memilih untuk berpaling sebentar.

“Hai, Non. Sendiri? Mana Marvin?”

“Lagi ada acara sama David.”

“Oh. Pulang bareng aku deh.”

Nona seperti berpikir sebentar. Dia jadi ingat tantangan yang diberikan Mia. Tapi tantangan itu sudah berakhir. Lagi pula dia juga sudah baikan lama dengan Marvin. Jadi rasanya tidak mungkin kalau dia bisa dengan Billy. Dia tidak mau lagi tergoda. Cukup satu cowok saja.

“Aku pulang sendiri deh,” jawab Nona singkat tanpa mampu memberikan alasan penolakan.

“Memang kenapa?” tanya Billy santai dengan menyunggingkan senyumnya. Melihat senyum itu, sekali lagi Nona teringat kejadian memalukan itu.

“Billy, aku udah baikan sama Marvin. Jadi aku nggak mau bikin masalah lagi.”

“Loh, bukannya dulu yang bikin masalah itu Marvin? Bukan kamu.”

“Iya tapi, aku nggak mau memulai masalah baru sekarang.”

“Aku cuma mau anter kamu pulang, oke? Bukan ngajak selingkuh.”

Tapi apa bedanya mengajak selingkuh dan berboncengan dengan cowok lain? Sama-sama berpeluang membuat Marvin cemburu.

Dan tanpa menunggu jawaban Nona, Billy menarik tangan gadis itu dan menyerahkan helm yang dibawanya. Seperti kebingungan, Nona tidak bisa menolak. Dengan raut wajah sedikit panik, pada akhirnya dia naik juga ke boncengan Billy.

Tapi memang dasar Billy! Bilangnya mau antar pulang. Tapi ketika motornya sudah melesat kencang di jalanan yang lengang, dia justru tidak membawa Nona pulang.

“Mau ke mana, Bil?” tanya Nona mulai curiga dengan suara bergetar. Billy melajukan motornya seperti sedang dikejar setan. Angin menerpa keras wajah Nona membuat suaranya berubah. Diapun harus sedikit mengeraskan suaranya.

“Kita jalan-jalan dulu, ya,” jawab Billy santai. Suaranya terdengar lebih riang.

“Jalan-jalan ke mana?”

“Cari makan deh, ya. Siang-siang begini enak makan yang seger-seger. Soto ayam...” kata Billy lalu menarik gasnya lagi lebih dalam.

“Billy, jangan kencang-kencang. Pelanin!”

Awal tadi Nona tidak berpegang sama sekali ke pinggang Billy. Tapi ketika Billy mulai mengencangkan motornya, Nona tidak punya pilihan lain. Dia pegangan saja sekenanya. Hanya sebatas jaket kulit Billy.

Dan sekarang saat Billy menambah kecepatan lagi, tak urung Nona melekatkan erat tubuhnya ke punggung Billy dengan kedua lengan memeluk erat pinggang pemuda itu sambil memejamkan mata.

Tapi Billy bergeming. Dia dengan tawanya yang menggema, tidak menggubris teriakan Nona. Dia malah seperti menikmati ketidaksengajakan Nona memeluknya erat. Padahal kan karena ngeri, bukan untuk alasan lain.

Merasa keresahannya tidak diacuhkan, Nona sekeras tenaga mencubit perut Billy sampai pemuda itu memekik keras sambil menekuk wajahnya menahan sakit. Untung saja motornya tidak oleng. Spontan Billy melambatkan motornya.

“Sakit, Non!” katanya sambil berusaha menoleh sebentar.

“Salah sendiri. Makanya jangan kenceng-kenceng. Nanti kita malah sampai di rumah sakit,” Nona setengah berteriak masih dengan wajah ngeri dan mata menyipit karena takut.

Billy tertawa. Kemudian dia lebih rileks. Tubuhnya tak setegang tadi. Tapi hatinya bahagia. Apalagi menyadari kedua lengan Nona masih melekat erat di pinggangnya padahal motor sudah melaju pelan.

Billy mengulurkan tangan kirinya untuk menyentuh tangan yang berdekap erat di perutnya itu. Dia menekan lebih dalam membuat kesadaran Nona terusik untuk menarik kedua tangannya.

Meski tak bisa melihat seperti apa perubahan wajah Nona, merah terbakar karena malu atau marah, Billy yakin pipi gadis itu pasti menghangat.

“Masih jauh warung sotonya?” tanya Nona berusaha bersikap biasa setelah meletakkan kedua tangannya di atas pahanya sendiri.

“Jauh dong.” Billy menjawab dengan santai. Padahal dia tidak tahu di mana ada warung soto. Tadi dia asal saja melewati jalanan pinggir kota yang sepi ini. Sebenarnya dia hanya ingin berdua saja dengan Nona. Mengobrol, bercanda, saling curhat, yah, seperti anak muda pacaran.

“Billy, yang jelas dong. Kalau nggak sampe-sampe aku turun di sini,” Nona mulai jengkel.

“Yah, turun aja deh.”

Hampir melompat bola mata Nona mendengar betapa santainya Billy sekarang. Dia tidak mengerti mengapa Billy jadi seberubah ini. Padahal cowok itu tahu bahwa dia sekarang sudah lebih mesra dengan Marvin. Yah, paling tidak Marvin sudah meminta maaf dan tidak akan mengulanginya lagi. Janji Marvin sudah cukup membuatnya khawatir saat dekat dengan cowok lain. Seperti sekarang ini.

“Turun nggak nih? Aku cubit lagi!”

“Cubitnya yang mesra dong.”

“Eeeh.”

Bukannya melembutkan cubitannya seperti permintaan Billy, Nona justru mencubitnya lebih keras lagi. Dan berhasil membuat Billy menjerit lebih keras dari tadi. Tapi setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. Nona yang di belakangnya hanya menahan senyum.

Karena sudah lelah, akhirnya Billy membelokkan motornya ke sebuah depot bergaya tradisional. Dengan bangunan yang bercat natural. Sementara beberapa gazebo terjajar rapi di pinggiran kolam ikan yang luas. Tanaman hias yang didominasi oleh warna hijau semakin menyejukkan depot itu.

Nona mengawasi ke sana kemari dengan kekaguman yang muncul nyata. Dia mengira, tempat ini akan membuat pelanggan betah berlama-lama menghabiskan waktu istirahat mereka.

“Yuk, Non.”

Billy menggapai tangan Nona lalu menariknya ke salah satu gazebo yang kosong. Sesaat Nona terkesiap. Apa yang dilakukannya di sini dengan Billy? Makan siang dengan sahabat atau...

***

Atau apa...?
Ada yang kangen cerita ini?

Love Is You (Tamat)Where stories live. Discover now