Berpisah (1)

2.6K 147 4
                                    

Dari awal menjalin hubungan dengan Marvin, Nona memang merasa harus waspada. Dia paham sekali sepak terjang Marvin selama ini dengan mantan-mantan kekasihnya yang entah berapa jumlahnya. Hanya saja belum pernah ada berita yang semengejutkan ini. Monic hamil. Dan Marvinlah yang mengakuinya.

Nona merasa hatinya teriris. Sakit. Pedih. Walaupun dia sudah menguatkan diri selama ini dengan segala desas-desus mereka berdua. Bahkan Billypun juga sudah memeringatkannya. Tapi Nona bergeming. Tetap bertahan pada pendiriannya. Dia berusaha menjalani hubungan dengan kepercayaan meski tak dapat dipungkiri bahwa dia juga seringkali curiga.

Nona berusaha menutup mata. Menutup telinga. Dibiarkannya saja orang mau berkata apa selama bukan dia sendiri yang melihatnya. Lalu sekarang apa? Nona bukan hanya melihat perselingkuhan mereka, tapi juga hasil dari perbuatan mereka. Sebuah janin. Meski janin itu harus gugur, tetap saja itu sudah lebih dari cukup menjelaskan sejauh mana hubungan mereka.

Nona memilih sendiri, menjauhi teman-temannya. Dia memilih pergi dan mencari lorong panjang nan sepi. Entah bangsal apa yang sesepi ini. Kamar mayatpun dia tidak peduli. Dia hanya ingin menenangkan diri. Dia masih ingat betapa muramnya wajah Marvin saat mengucapkannya.

“Saya suaminya.”

Cintakah Marvin pada Monic? Sampai-sampai dia rela mengaku diri sebagai suami Monic. Marvin seakan sudah tidak punya pilihan untuk menyembunyikan hubungannya dengan Monic. Kejadian yang sangat mengejutkan ini membuatnya menjadi lebih berani. Dia hanya memandang dengan sorot mata penuh maaf ketika menatap Nona. Mata yang biasanya bersinar penuh kejailan itu seketika meredup seperti tak kuat untuk menatap. Melihat itu, Nona sadar, Marvin benar-benar serius dengan perkataannya.

Nona baru menghindar ketika dokter kandungan datang untuk segera menolong Monic. Marvin dan Rambo ikut keluar. Nona sudah tidak peduli ketika Rambo mencoba menyerang Marvin. Dia hanya sekilas melihat David melerai mereka dan entah apa yang dikatakannya untuk mendinginkan hati Rambo yang terbakar kemarahan.

Dan di sinilah dia sekarang. Menyepi. Menyendiri. Menangis. Mengusap air matanya sendiri. Menyesali semuanya. Menyesal karena Marvin tidak jujur padanya. Menyesal karena dia tidak mau berusaha menerima kenyataan atas kemungkinan besar Marvin masih berhubungan dengan Monic. Menyesal karena menerima Marvin kembali. Dan menyesal karena tidak menghiraukan perkataam Billy.

Nona menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia menutup wajahnya sambil menunduk. Sampai ada sebuah tangan yang mengusap sebelah lengannya lalu menariknya ke dalam pelukannya.

Seperti mendapat kesempatan untuk menumpahkan lukanya, Nona balas memeluk Billy. Dia masih menangis tanpa suara. Rasanya dia sudah melupakan canggungnya. Pelukan ini bukan hanya menenangkan hatinya. Namun juga menyadarkan bahwa Billy akan selalu hadir saat Nona membutuhkannya.

“Aku ngerti perasaanmu.”

“Aku nggak menyangka. Aku nggak pernah mau dengar apa yang kamu bilang,” ucap Nona tersendat.

“Jangan menyesal, Non. Semua sudah terjadi. Belum terlambat untuk membenahi diri.”

Nona semakin mendekapkan kepalanya ke dada Billy. Matanya terpejam rapat. Dia ingin melupakan semuanya sekejap. Dia ingin menghilangkan rasa ini. Rasa kecewa yang teramat dalam.

“Aku benci harus berada di antara mereka. Aku bodoh menjadi orang kedua yang sebenarnya nggak diharapkan.”

“Tapi kamu adalah yang pertama buatku, Nona. Aku mengharapkan kamu.”

Nona tak bisa menjawab. Justru air matanya yang semakin deras. Dia menggeleng sebentar. “Nggak mungkin kamu mengharap gadis bodoh kayak aku.”

“Kamu bukan bodoh. Tapi terlalu memercayai orang yang kamu sayangi. Dan itulah yang membuatku nggak ingin pergi dari kamu.”

Beberapa lama mereka terdiam. Saling merasakan pelukan yang menentramkan jiwa mereka. Bahkan tak menyadari bahwa Mia sudah mendengar semuanya.

***

Rambo pulang dengan hati terluka. Kekasih yang disayanginya hampir satu tahun lamanya telah mengkhianatinya. Menyakitinya diam-diam. Bodohnya, dia baru tahu sekarang. Tak pernah terlintas Monic akan berselingkuh sedemikian berani. Tak menyangka bahwa gitaris itulah yang berani berhubungan dengan pacarnya begini jauh. Rasanya ini bukan hanya sakit hati biasa. Ini adalah sakit hati yang tidak akan terlupakan seumur hidup. Sekeras apapun dia akan menyerang Marvin, rasanya percuma saja. Lebih baik dia tinggalkan semuanya. Dia lupakan semuanya.

Marvin juga masih berada di dalam ruangan menemani Monic yang baru saja sadar dari pengaruh obat bius. Dia ingin Monic tahu bahwa dia selalu ada untuk Monic. Tak pernah pergi meski yang lain sudah sangat kecewa dengan perbuatannya. Dia sudah meminta maaf pada Rambo. Meskipun dia tahu kalau itu tidak bisa menyelesaikan permasalahan hati mereka. Namun dia sudah tenang. Bebannya mulai berkurang. Hanya pada Nonalah dia masih belum sanggup meminta maaf. Mungkin sekarang saatnya. Dia tidak mau menunda lagi.

Bertepatan ketika Nona akan memasuki kamar Monic, Marvin sedang akan keluar, mereka berpapasan dengan diam. Kemudian Nona mundur perlahan untuk keluar lagi dari ruangan itu. Marvin mengikutinya.

“Non, aku, aku mau menjelaskan semuanya.”

“Nggak perlu, Vin. Aku ngerti,” jawab Nona lemah. “Aku cuma mau bilang kalau aku akan pulang dulu. Kupikir kamu bisa menjaga Monic. Lebih paham dari pada kami.”

Nona tidak mengerti terhadap dirinya sendiri. Mengapa tidak ada kemarahan yang memuncak dalam hatinya ketika mengetahui pengkhianatan ini. Dia hanya sakit hati, kecewa, dan merasa pedih. Dia betul-betul membodohkan dirinya sendiri.

“Non, maaf.”

Nona tidak memberi jawaban. Tidak menggeleng. Tidak pula mengangguk. Dia pergi perlahan menjauhi Marvin. Dan di depan sana, Billy sudah menunggunya. Menyejajarinya untuk melangkah bersama. Sedangkan Marvin mengawasinya dengan penuh rasa bersalah.

Selama hidupnya, tak pernah Marvin merasa sebersalah ini. Dia menyakiti dua orang gadis sekaligus. Nona dan Monic. Kali ini Moniclah yang sangat membutuhkan perhatiannya. Monic baru saja keguguran. Bayi mereka. Yang hadir diam-diam tanpa mereka rencanakan. Dan haruskah dia tega meninggalkan Monic meski janin itu tak lagi ada? Oh, rasanya Marvin tak sekejam itu.

Ini kesalahan yang sangat fatal baginya. Karena itu dia ingin memperbaiki semuanya. Meski pada akhirnya Nonalah yang paling kecewa. Dia hanya berharap semoga Billy bisa menyembuhkan luka hati Nona.

Setelah kepergian Billy dan Nona, Marvin kembali ke dalam kamar Monic. Saat itu Monic sudah bersiap pulang. Dia duduk di tepi ranjang.

Marvin mendekatinya lalu memeluknya dengan hangat. Monic menelusupkan wajahnya ke dada Marvin kemudian bersyukur. Ternyata Marvin masih punya rasa tanggung jawab. Dia tidak menyangka Marvin akan berani itu mengaku sebagai suaminya hanya untuk menutup malunya. Monic sangat terharu.

“Kamu tahu kalau kamu hamil?”

Monic menggeleng. Dia tidak pernah tahu pasti bahwa dia hamil. Tapi dia sudah merasa aneh pada tubuhnya sendiri sejak beberapa hari yang lalu. Dan inilah ternyata yang terjadi. Dia hamil lalu keguguran.

“Oke, nggak apa-apa. Kalau begitu kita pulang.”

“Vin.”

“Hm?”

“Aku malu, Vin.”

Marvin menghembuskan nafas lelah. Sebenarnya dia juga malu. Tapi malu sudah tak ada gunanya. Semua sudah terjadi.

“Udahlah, semua udah selesai. Aku udah minta maaf sama Rambo, sama Nona...”

“Mereka pasti benci sama kita, Vin.”

“Wajar kalau mereka benci, Nic. Kita memang bersalah.”

“Bagaimana kalau mereka tetep benci kita, Vin?”

“Itu udah jadi resiko.”

Iya, ternyata risiko berselingkuh itu sangat berat. Bukan hanya dibenci. Namun juga perasaan bersalah yang jauh lebih membuat mereka tidak tenang.

***

Love Is You (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora