6. Ayah Hebat

5.5K 867 24
                                    

Happy Reading 📖
------------------

Jevan tengah memeriksa tumpukan kertas yang sudah menggunung di mejanya. Setiap hari selalu seperti itu, Jevan bahkan tidak pernah libur sekedar untuk berjalan-jalan atau menghabiskan hari dengan putri tercinta.

Saat sedang sibuk membaca berkas tiba-tiba ponselnya bergetar, pria itu nampak mengeryitkan dahinya karena telpon masuk dari nomor yang tidak dikenal. Alhasil karena penasaran Jevan langsung mengulir tombol hijau pada layar ponsel tersebut.

"Halo?"

"Iya saya sendiri. Ada apa ya?" Tanya Jevan memasang ekspresi bingung.

Detik berikutnya mata Jevan membulat sempurna, "Baik saya kesana! Terimakasih infonya."

Setelah menerima telpon pria itu nampak panik dan bergegas mengambil kunci mobil diatas meja. Bersamaan dengan Jevan akan keluar dari ruangan, Wenda berdiri di depan pintu hendak menemuinya.

"Perimisi Pak-"

"Wen tolong batalin semua jadwal saya hari ini!" Ucapnya masih dengan nada panik.

"Tapi Pak hari ini ada klien yang sangat penting."

"Persetan sama klien! Hanin lebih penting dari semuanya!" Setelah itu Jevan berlari dengan terburu-buru.

Wenda menatap kepergian Jevan. Melihat punggung atasannya yang nampak khawatir seperti itu malah membuatnya tersenyum bangga terhadap sosok tersebut.

"Jevan...Jevan. Kalau itu udah berkaitan sama anaknya, proyek jutaan dolarpun dicancel."

➖➖➖

Jevan menyetir dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sungguh dirinya sangat khawatir sekarang. Begitu mobilnya telah sampai ke sekolah anaknya, pria itu langsung berlari mencari keberadaan Hanin.

Jevan berkeliling entah sudah berapa menit untuk menemukan ruang guru sekolah tersebut dimana wanita di telpon mengatakan bahwa Hanin saat ini sedang membutuhkannya.

Tiba-tiba langkah Jevan terhenti setelah berhasil mengetahui keberadaan putri kecilnya yang tengah tertidur dalam gendongan seseorang, yaitu Clara.

"Maaf Pak, saya yang telpon tadi. Sekarang Hanin nya udah tidur." Ujar salah seorang guru bernama Liora menyadarkan lamunan Jevan.

"Tapi dia gak apa-apa kan?"

"Iya, untung Bu Clara cepat datang."

Jevan pun berjalan mendekat begitu Clara telah menidurkan putrinya ke sebuah bed yang memang disiapkan di ruangan tersebut. Clara yang menyadari kehadiran Jevan langsung tersenyum.

"Hanin udah tidur, baru aja."

"Syukurlah."

"Eumm, Pak Jevan." Panggil Clara ragu dan pria itu langsung mengalihkan pandangan kearahnya.

"Bisa kita bicara?"

➖➖➖

Clara mengajak Jevan untuk duduk disalah satu bangku taman belakang sekolah tersebut. Disana nampak sepi karena memang anak-anak sedang dalam kelasnya untuk belajar.

Sudah lima menit mereka duduk berdampingan dalam jarak satu meter tapi tidak ada seorangpun yang berniat untuk memulai pembicaraan.

Jevan sedari tadi hanya menatap kosong ke depan, seperti tengah banyak pikiran.

"Pak Jevan."

Pria tersebut akhirnya menoleh, "Iya?"

"Eumm, maaf sebelumnya karena kami ganggu pekerjaan Bapak. Tadi Hanin nangis sambil terus manggil nama ibunya." Jelas Clara.

Pria itu menyimak dan sesekali mengangguk lemah, "Terimakasih, kalau gak ada Bu Clara saya gak tau lagi bakal kayak gimana."

"Begini Pak, sikap Hanin belakangan ini sedikit beda. Dia jadi sering melamun, main sendirian, makannya juga gak habis." Lanjut Clara.

Wanita itu tampak ragu-ragu untuk melanjutkan kalimat yang selama beberapa hari ini menganggu pikirannya, "Maaf kalau saya lancang. Hanin butuh kasih sayang dari orangtuanya. Dia cerita ke saya kalau Bapak selalu sibuk di kantor sampai jarang ada waktu buat Hanin. Kalau boleh saya tau, ibunya kemana ya Pak? Soalnya Hanin manggil-manggil namanya terus."

Pria itu terpaku seketika. Haruskah Jevan mengatakannya? Mengingatnya saja membuat hati Jevan terasa perih.

"Maaf kalau pertanyaan saya menyinggung. Bapak gak pelu ja-"

"Ibunya Hanin udah meninggal." Potong Jevan.

Ekspresi Clara benar-benar terkejut. Wanita itu dapat melihat ekspresi sendu dari wajah Jevan. Sekarang Clara malah diselimuti rasa bersalah. Bodoh sekali seharusnya dia tidak bertanya tadi.

Ya ampun sekarang gimana?

"Maaf Pak, saya gak tau." Ucapnya sambil menunduk bersalah.

"Gak apa-apa kok."

Jevan mendongakkan wajah keatas menampakkan langit biru terang dengan awan disekitar yang menghiasinya. Jevan pun mencoba untuk tersenyum.

"Ibunya meninggal setelah Hanin lahir. Waktu itu ada pendarahan, jadi ibunya gak bisa diselamatkan. Tapi saya bersyukur, Hanin bisa lahir sehat tanpa kekurangan."

Mata Jevan nampak berkaca-kaca sambil terus melanjutkan ceritanya, "Dari kecil Hanin gak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Tantenya Jane coba ngasi kasih sayang yang sama tapi kembali lagi, tetap aja rasanya bakal beda."

Tubuh Jevan bergetar, apakah dia sanggup untuk melanjutkannya lagi?

"Sebentar lagi ulang tahun Hanin dan setiap tahun memang begitu. Hanin bakal nangis seharian sambil manggil nama ibunya terus ngurung diri di kamar. Setiap dia berulang tahun, Hanin gak pernah mau kami adain pesta ulang tahun yang mewah. Soalnya hari dimana Hanin lahir, disitu hari berkabung buat ibunya."

Clara menitikkan airmata ikut bersedih mendengar hal tersebut. Ternyata dirinya masih beruntung karena memiliki orangtua lengkap yang selalu menyayanginya.

Sementara Jevan sendiri sudah menutup wajah dan menangis disana. Tidak perduli dibilang cengeng atau apapun itu yang jelas Jevan sangat sedih saat ini.

Hati Clara pun tergerak dan memperkecil jarak dengan Jevan sehingga sekarang dirinya tepat berada di samping pria itu. Tangan kirinya Clara gunakan untuk menepuk-nepuk pelan punggung Jevan untuk menguatkan.

"Nangis aja sebanyak yang Pak Jevan mau. Bapak itu ayah yang hebat. Seorang pria sejati itu bukan orang yang kaya harta, kekuasaan, ataupun sebagainya. Tapi pria sejati adalah seseorang yang gak takut meneteskan airmata kalau itu berkaitan sama keluarganya."

TBC


Our DestinyWhere stories live. Discover now