Day 2; Walk On

37 4 2
                                    

Mega berkumpul menjadi arakan. Menunggu, untuk mengantarkan sang Surya kembali ke peraduan semesta. Tak memungkiri bahwa sebuah nasib manusia di bawah sana menarik perhatian mereka.

Di jembatan kayu itu sosoknya berdiri. Tubuh tersangga tangan pada pinggir jembatan, ia menekuri anakan sungai di bawah sana. Menikmati pantulan bayangnya menjadi rusak karena batu yang sengaja ia lempar.

Mendesah kecil, sebuah batu terbuang lagi. Setidaknya sampai batu yang ada di sakunya habis, ia akan terus melakukan itu. Hanya saja, perlahan semuanya terganti menjadi hambar.

Lalu lalang manusia di belakang punggung tidak ia hiraukan. Eksistensi alam yang menjelma pada hulu sungai lebih menarik minatnya. Memandangi hal itu, sekelebat pemikiran menyangkut di neuron otaknya.

'Seandainya ia bukanlah manusia, peran apa yang akan ia isi di dunia ini?'

Lelah menjadi seseorang yang hilang dari peradaban tak ayal membuat perasaan menjadi sedikit lengang. Dirinya hampa. Seolah hanya raga yang bergerak tanpa dormansi jiwa di dalamnya.

Terkadang, ia berpikir juga. Bagaimana mungkin kawan-kawannya atau orang lain tertawa sedemikian mudah? Sementara di satu sisi, ia merasa Tuhan menciptakan bibirnya menjadi kaku nan datar. Sehingga tersenyum akan menjadi sesuatu yang amat langka baginya.

Atau beban hidup mereka tidak seberat dirinya? Sampai-sampai ia merasa punggungnya sudah patah karena menanggung sesuatu bernama hidup di atas sana.

Cahaya senja pada air di bawahnya meredup. Semula jingga, yang perlahan memekat menjadi biru tua. Penampakan titik-titik terang di atas sana membuatnya mendongak. Rupanya malam sudah menanggalkan jubah siangnya.

Walau kelam perlahan menyelimuti, ia diam bergeming. Justru kegelapan itu seolah merangkul bahunya, memintanya menenangkan diri dari deru napas yang semakin memburu. Kusut sudah merenungi sesuatu di mana ia ada di dalamnya.

Seolah tiada akhir, maniknya masih memancarkan kesenduan. Mencoba memberikan kode kepada alam bahwa ia memerlukan sebuah dukungan batin.

Angin malam memberikan belaian. Sadarkan ia akan rontaan kulit tipis yang menjerit kedinginan. Matanya teralihkan, lalu hanya berucap "oh" singkat seraya menarik lengan baju ke jemari. Memberikan kehangatan semu sekaligus menutupi bekas luka yang terekspos dari sana.

Namun, sedetik kemudian, bagian itu ia singkap lagi. Bekas cokelat memanjang ia raba. Begitu pula guratan-guratan kemerahan yang mendekam di seluruh area lengan. Rintihan kecil ia keluarkan kala tak sengaja menggaruknya. Membiarkan bau besi karatan tercium samar di udara.

Lagipula, bukan salah luka-luka itu ada. Ia yang menciptakannya, maka seharusnya ia tak menyesalinya sekarang. Setidaknya, ia harus menghargai jerih payah otaknya dalam menyalurkan sesak di dada. Menjadi aksesoris permanen di tubuh ringkih itu.

Bukan tanpa alasan pula ia menciptakan itu. Tekanan batin berpadu lelahnya fisik kadang kala membuat otaknya jenuh. Bosan menghadapi sesuatu yang monoton, yang membuatnya tak ubahnya robot ciptaan.

Ia yang semula terpekur seketika mendongak ke atas. Seolah ada bisikan yang mengharuskannya mengganti pandang. Ia amati langit kelam, di mana alam sudah menjelma menjadi gua berhiaskan permata.

Ah, rupanya salah satu permata itu gugur. Menciptakn semburat panjang berwarna putih kebiruan yang melintasi matanya. Memberikan rekam jejak sebagai salah satu suguhan alam terindah.

'Kuharap, semuanya menjadi baik-baik saja ketika ku menjalaninya.'

Lirih batinnya merapal harap. Berangan permata itu akan menyampaikan suara hatinya pada siapapun di atas sana. Berasa bahwa apa yang ia impikan akan menjadi nyata.

Mata mendelik, biarkan sebuah kristal mengalir lancar. Bersambut dengan derai tawa yang terdengar sumbang. Memikirkan betapa bodohnya permintaan tadi. Sekali lagi, fakta bahwa ia hanyalah robot mainan memenuhi otak. Jadi, tak ada gunanya ia memanjatkan keinginan nan mustahil itu.

Bila tadi langit memberikan kode, sekarang giliran bumi yang melancarkan rayuan. Manik sendunya dipaksa menghadap bawah. Kembali pada hamparan kaca alam yang memantulkan siluet dirinya.

Terlihat begitu tenang dan damai. Alih-alih merasa hal yang sama, justru ia menjadi penasaran. Apa yang akan terjadi jika ia memecah struktur liquida itu?

Sanggaan tangan menguat ketika beban kian memberat. Apalagi juga harus menjaga keseimbangan kala kaki menjejak lengan jembatan. Hanya sepersekian detik sebelum suara pecahan kaca itu memekakkan telinga alam.

BYUR!!

Ah, setidaknya harapnya sudah menjadi nyata. Melebur bersama pecahan kaca yang memenuhi rongga dada.

.

Pancor, 02 November 2018.

[Completed] (Now)vemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang