Day 24; (Can't) Talk About It

6 2 0
                                    

Jemari menari zig-zag, coretkan tinta jelaga menjadi liukan abstrak di atas kertas putih bergaris. Menyambung hingga membentuk beberapa kata, sebelum akhirnya suara robekan terdengar. Kertas putih ternoda ditarik paksa dari tempatnya, diremas keras, sebelum dibuang ke bawah; di mana ada banyak benda serupa sudah menumpukkan diri.

Jemari itu hendak memulai aktifitasnya kembali. Sayangnya kaitan antar ibu jari dan telunjuk melemah. Mengempaskan pena sewarna arang yang langsung bergulir. Berhenti ketika sudah di ujung meja.

Kertas berkait menjadi kusut diremat tertahan. Bertahan beberapa detik, sebelum jemari itu melemah sempurna. Lepas segala hal di atas meja. Kembali menggantung di sisi badan yang menyandar pada kursi.

Naik ke atas, mata tertutup terlihat pada wajah menengadah. Samar jejak air garam mengering di setiap ekor mata. Isyaratkan sudah lama dirinya melepaskan emosi berlebih di dada.

Tipisnya kelopak perlahan membuka.  Tampilkan iris sewarna tanah yang menyembul hampa. Tatapannya kosong. Sekosong lelangit kamar yang bersih tanpa apapun jua yang menempel padanya.

Gila. Harusnya ia tidak begini. Tidak melampiaskan frustrasi pada benda mati. Lihatlah. Sudah berapa bangkai kertas nan remuk yang menumpuk di bawah kakinya. Masing-masing di antara mereka membawa coretan absurd. Serumit dengan perasaannya yang mengkerut.

Jujur ia akui, ia sudah lelah. Lelah hadapi dunia yang menjelma menjadi neraka baginya. Semua hal yang ia ketahui seolah bersinergis untuk membuatnya terpuruk. Membuatnya terjun bebas ke ke dalam penyakit batin tiada penawar.

Hendak mencari ilmu, kesuraman yang ia temu. Ulurkan tangan meminta jadi teman, cibiran yang ia dapatkan. Berlindung ke asal mula, dirinya semakin hampa.

Apa salah dirinya sehingga harus seperti ini? Apa dirinya di masa lalu memiliki dosa besar yang penebusannya dilakukan oleh dirinya di masa sekarang? Seandainya ia gagal, apa dirinya di masa depan akan turut merana?

Sekali lagi, ia lelah. Lelah harus berdiam diri di setiap guncangan yang ia temui. Lidahnya sudah kelu untuk menyuarakan penderitaannya. Pun hatinya sudah merapuh sedemikian rupa. Tinggal menunggu waktu untuk hancur selama-lamanya.

Andai kata bisa, ia ingin bertemu dengan seseorang. Di mana ia bebas bercerita tentang hidupnya. Di mana dirinya bisa meraung sepuas mungkin akan kesakitan yang sudah diderita. Di mana ia mampu menampung tumpahan air mata jiwa yang sudah meruah di tempatnya.

Sayangnya, ia belum menemukan sosok itu. Belum sama sekali. Mereka yang selama ini menguliti kisahnya hanya menjadi sosok semu, belum ia jadikan kenyataan untuk berkeluh kesah. Entah sampai kapan dirinya harus bungkum.

Sementara atau selamanya? Bagaimana jika ternyata sosok itu tidak pernah ada? Akankah ia menjadi onggokan daging tiada jiwa?

Hela napas pelan, ia bergumam. Bisikkan angin akan pahitnya kisah yang dimiliki. Menyuruh alam untuk menyampaikannya kepada semesta. Agar Langit di atas sana segera mengirim pembantuNya. Lantas mencabut jiwanya untuk tumbuh di alam sana.

Getir tawanya terdengar sumbang. Bagaimana mungkin itu akan terjadi? Langit tidak akan semudah itu untuk memberinya peringatan terakhir. Umurnya baru memasuki akhir remaja. Harusnya ia bersiap untuk membuat pilinan kisah baru. Yang tentunya berwarna daripada terdahulu.

Pikirkan itu, ia refleks menggeleng. Jemarinya sudah lelah mengurai kata isakan di atas kertas. Jangan lagi diperlemah dengan memilin cerita baru. Tidak. Ia sudah cukup. Ia sudah puas dengan jalinan kusam yang terbentuk selama beberapa belas tahun ini.

Jika Langit tidak mau mengirimkan Tudung Kegelapan itu, ia sendiri yang akan memaksanya untuk datang. Ia hanya harus memutus benang yang tersisa dari pilinan miliknya. Lagipula, sudah tidak ada lagi yang harus ia rangkai semenjak semuanya tertelan mentah oleh kesunyian malam. Hilang tak berbekas akibat tak pernah diungkapkan.

Oleh karena itu, ia pun tak ragu memutus benang kehidupannya dengan pisau yang mematikan detak di dada kiri untuk selamanya.

.

.

Pancor, 28 Januari 2019

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now