Day 26; Boyfriend Issue

5 2 0
                                    

Terkadang, ada sebuah cerita yang tidak harus kau beritakan kepada khalayak ramai. Disimpan laiknya harta karun. Hanya yang terpilih yang bisa membukanya atau malah akan terkubur selamanya.

Dan aku memilih untuk melakukan itu. Menyimpan rapat-rapat apa yang kutahu dan kurasakan, semata demi menjaga sesuatu yang kusebut "perasaan". Entah perasaan milikku atau malah perasaan orang lain yang di saat tertentu harusnya tidak kupedulikan sama sekali.

Mengenai cerita, aku memiliki cerita yang tidak kuberitahukan kepada mereka yang pernah bertatap muka denganku. Hanya kisah sederhana. Namun entah mengapa aku merasa harus diam untuk ini.

Sebagai makhluk berperasaan, aku tahu benar bagaimana seorang anak Adam kala memasuki usia di mana orang lain semakin memiliki andil dalam permainan hidup. Salah satunya ketika hati mengklaim hati lainnya atas nama cinta. Ah, singkatnya memiliki kekasih.

Hidup di lingkungan yang lumayan atas untuk jenjang sekolah membuatku sudah terbiasa mendengarkan celotehan akan hal itu. Sudah kebas telingaku mendengarkan jerit bahagia mereka yang menceritakan tentang kekasihnya. Ataupun menangis tersedu-sedu ketika hal buruk menimpa. Namun, aku tidak peduli. Selain bukan urusanku, itu semua sudah terjadi beberapa tahun lalu.

Beberapa tahun yang sempat membuatku trauma akan memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk berbagi rasa. Membuatku beranggapan bahwa para makhluk berbeda gender selain keluargaku adalah hal yang harus kujauhi keberadaannya. Hingga akhirnya, aku tiba di titik ini.

Sebelumnya, selain karena merasa tidak ingin, terkadang aku menanyakan. Apakah sikapku terlalu 'polos' sehingga banyak yang terkaget begitu mendengar aku pernah memiliki kekasih? Ah, sepertinya iya. Tingkahku yang pendiam nan enggan bergaul justru menguatkan imajinasi lingkungan bahwa aku tidak mengetahui apapun tentang cinta.

Dengan itu, lengkap sudah alasanku untuk tidak bercerita. Padahal sejatinya aku juga ingin berbagi perasaan tentang sosok yang sudah mampu untuk memasuki hati ini. Oleh karenanya, apa kau mau mendengarkan ceritaku?

Ia mulanya hanya sebatas teman. Teman masa kecil yang mengetahui seluk beluk kehidupanku di masa lalu. Secara tidak langsung juga mengetahui betapa kelamnya masa itu. Namun, sepertinya ia sadar diri bahwa saat itu ia tidak boleh melanggar apapun.

Waktu berselang menjadikan kami berdua sebagai manusia yang sudah mulai meninggalkan keawaman dunia. Sayangnya, aku masih dengan anggapan bahwa semuanya tetaplah sama. Tanpa tahu bahwa tatapan bersahabat itu mulai berubah setiap kali tertangkap retina.

Hingga akhirnya, ia membuatku membuka mata. Warna di antara kami mulai berubah. Perlahan, ia membuatku mampu untuk menerima keberadaan barunya di sisiku; sebagai kekasih.

Canggung? Tentu iya. Pertemuan yang tak lagi sama juga canda yang menjadi berbeda. Awalnya aku merasa tidak nyaman. Hanya saja, kepeduliannya sebagai sahabat sekaligus kekasih meyakinkanku bahwa semuanya akan menjadi baik-baik saja.

Sayangnya, trauma tetaplah trauma. Dan dirinya tahu benar akan hal itu. Sehingga ia tidak berbicara banyak ketika aku memutuskan hubungan kami. Berulang kali. Sama banyaknya dengan dirinya yang kembali meminta kehadiranku di sisinya.

Ah, sial. Pengalamannya sebagai seorang sahabat yang mengetahui kisahku merepotkan. Saking merepotkannya hingga aku akhirnya mau untuk mengiyakan sebuah janji konyol. Kusebut begitu karena janji itu terdengar mustahil.

"Berikan aku waktu delapan tahun. Setelah aku pantas untukmu, kau akan kujadikan milikku sepenuhnya, Wa."

See? Itu ... menggelikan bagiku, sejujurnya. Kami masih remaja dan keseriusan semacam itu terdengar lucu. Sayangnya aku tidak bisa menertawakannya melihat betapa sungguhnya ia.

Ya. Ia bersungguh-sungguh akan apa yang ia ucapkan itu. Walau hanya mengamati dari jauh karena kami sekarang berbeda tempat tinggal, tetapi itu mengagumkan.  Dirinya yang memang merupakan tipikal pekerja keras terlihat keren di mataku. Walau kenyataannya aku lebih memungkiri hal itu.

Sering kali aku diam-diam menanyakannya kepada orang rumah di sana yang kebetulan kukenal baik. Entah itu keluarga atau temannya. Dirinya yang nakal dan jail sudah menjadi sumber senyumku. Walau terkadang celotehannya tentang diriku di sana mampu membuatku merona sendiri di kamar.

Terkadang aku tidak habis pikir. Apa yang ia lihat dariku sehingga ia merelakan kesempatan masa remajanya demi sebuah janji belaka? Padahal ia sudah tahu benar bahwa aku begitu suram, begitu gelap. Tak sama dengan dirinya yang merupakan cahaya. Sejujurnya, terkadang aku menganggapnya gila. Segila diriku yang juga mau menerima perasaan tulusnya.

Ah, pada dasarnya cinta itu memang gila.

*

Kukatakan. Aku sudah sering mendengar bagaimana kisah remaja teman sekelasku. Namun, entah apa jadinya jika sekarang kami bertukar posisi.

"Eh? Kau memiliki kekasih?"

"Sejak kapan?"

"Ah, yang benar saja."

Aku hanya menahan tawa dalam senyum yang kukulum, lalu menjawab "ya" dengan samar. Padahal kenyataannya melebihi ekspetasi mereka.

Kekasih? Ah, tidak. Ia hanya sahabat hidupku.

Di suatu hari nanti.

*

Pancor, 09 Maret 2019

[Completed] (Now)vemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang