Day 4; Ready to Move On

12 4 0
                                    

Tinta menjejak kertas putih tanpa garis. Ciptakan garis abstrak bersusun menjadi verba pikirannya. Terus tercipta sebagai hasil liukan pena. Berulang, hingga nyaris menutupi putihnya kertas dengan tinta jelaga. Untuk saat ini, ia tak ingin suaranya menyapa udara luar.

Sesaat menjeda, ciptakan keheningan kala manik menelusuri rekam tinta. Membaca kata per kata, memastikan mereka berkesinambungan hingga akhir. Tentunya ia tidak ingin suara hatinya disalahartikan oleh pembaca nantinya.

Desah udara menampar kertas dengan halus. Berubah menjadi getar yang merembet ke badan bagian belakang. Berusaha tahan terhadap isak yang terus mendesak.

Sayangnya, ia tak berkuasa. Hujan kristal menuruni tulang pipinya dengan lembut. Menyusuri dagu, hingga akhirnya terjatuh di atas paha berselimutkan kain hitam.

Kain di dada kiri menjadi kusut, seolah isinya yang teremat sedemikian rupa. Kilasan demi kilasan terputar baik di pelupuk mata. Sisakan memori pembentuk trauma.

Kini, semuanya tak lagi padu. Hitam menguasai putih, pun putih tidak ingin kembali kepadanya. Itu yang ia rasakan dengan amat sangat di hari itu.

Memori kembali memutar diri. Tampilkan gerakan kaca terlempari vas bunga. Ilusi sahutan nan menyalak menajam pada telinga. Pun sesak yang menghunjam rongga dada semakin terasa kala siluet itu membayang; dua manusia berlainan rupa memilih untuk tidak bersama.

Hingga kini, ia masih mempertanyakan sekiranya apa dosa yang telah ia perbuat hingga mendapatkan karma seperti itu. Selama ini ia adalah anak baik. Penurut dan dicinta oleh sekitar. Namun, mengapa balasannya menjadi seperti ini?

Ia ingat, ia tak ingin memihak siapapun. Memilih hidup sendiri dengan kunjungan yang berbeda setiap minggu. Setidaknya kedua siluet itu masih sadar akan tanggung jawab mereka. Hingga ia tidak akan pernah kelaparan atau kedinginan.

Padahal, bukan itu yang ia inginkan. Ia hanya ingin semuanya dikembalikan pada letak semua. Ingin kembali pada masa di mana senyumnya merekah dengan mudah. Bukan seperti ini. Di mana hanya tatapan kosong nan mati yang mengisi hari.

Hingga di hari kelulusan, ia menelan kembali pil pahit kehidupan. Berusaha mengingkari fakta bahwa ia iri pada kawannya, ia sendiri merutuk mengingat dua siluet itu tak ada satu pun yang datang. Jadilah ia mengambil ijazah tanpa menoleh ke kursi para undangan; harusnya ada dua pasang mata yang berbinar di sana untuknya.

Lepas dari semua itu, ia bertahan seorang diri. Sekali lagi, mereka bertanggung jawab mengisi perutnya, tetapi tidak dengan batinnya yang merana. Berulang kali di tengah malam mendadak  insomnia hanya karena alam bawah sadar kembali menghadirkan kenangan.

Ha, apakah ia masih bisa menyebut itu kenangan di saat semuanya sudah pecah berantakan? Terlalu beresiko jika ia memaksa untuk mengembalikannya seperti semula.

Dan ia memilih mengambil resiko itu.

Ia mematut diri di cermin tinggi sekali lagi. Berusaha berputar dengan hati-hati agar gaun yang ia kenakan tak menyentuh bawah.  Pun riasan netral di wajah sudah ia bubuhi. Setidaknya, ia pertama dan terakhir kalinya ia berupa seperti ini.

Membungkuk, jemari kurusnya mengambil surat yang sudah jadi. Membaca ulang isinya hingga setengah; ia tak mau riasannnya menjadi rusak karena air mata. Lalu menaruhnya kembali di atas meja.

Pita satin di leher ia eratkan sedikit, sebelum memasang senyum indah. Memastikan senyum itu akan bertahan hingga ia bertemu dengan kedua siluet itu.

Sekali lagi, ia berani mengambil resiko. Mengambil resiko untuk kembali membuat dua siluet itu beratap tunggal. Walau ia tak menjamin keberhasilan akannya.

Ponsel diambil, lalu disambungkan pada satelit. Bergiliran dua siluet itu ia telepon. Menyuruh keduanya datang ke rumah mereka; ia bilang ia akan pindah.

Menarik napas lega setelah semuanya beres, perlahan kakinya bergerak. Hanya dua langkah sebelum akhirnya pita satin di leher semakin mengerat. Ia tak berusaha memberontak. Ia hanya berharap pita satin yang terhubung hinga ke langit-langit kamarnya itu sanggup menahan beban tubuhnya sebentar lagi.

Setidaknya sampai dua siluet itu datang dan menyesali apa yang terjadi; ia sudah berpindah menuju keabadian.

.

Pancor, 04 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now