Day 9; Fluidity

13 4 0
                                    

Jaket sewarna langit malam ia sampirkan pada muka yang menengadah. Menutupi kepala hingga dada yang tertempel pada punggung tersandar kursi. Kaki ia luruskan. Berusaha mengambil suasana senyaman mungkin.

Itu yang ia tampakkan pada sekitarnya yang berupa lalu lalang siswa di jam istirahat. Padahal aslinya, di bawah sana ia coba menahan isak. Mencoba mengeluarkan sesak di dada yang semakin menjadi kala otaknya kembali memutar memori.

Saat di mana semuanya terbongkar. Kenaifan yang selama ini jadikan topeng retak sudah. Hanya karena cuitan iseng yang tentunya ia tidak percaya akan dampaknya.

Itu hanya bertahan sebentar saja. Sebelum akhirnya ia memegang dada kiri. Detak jantung yang meningkat drastis membuatnya mengaduh kecil. Rasanya, bagian itu akan pecah sebentar lagi. Sesuatu yang terkadang ia harapkan, tetapi tidak di saat ini.

Tangan kirinya segera keluar jaket dan merogoh dalam meja. Penggaris berbentuk segitiga meruncing tergenggam dibawa masuk. Rematan pada dada ia hentikan, karena tangan kanannya sigap membuka kancing lengan sebelah kiri. Lalu mengambil penggaris biru itu dan melakukan kebiasaan barunya.

Perlahan, detak jantungnya kembali normal walau harus dibayar menggunakan puluhan goresan merah tipis memanjang pada lengan. Namun, ia merasa itu belum cukup. Membuatnya mengubah posisi.

Masih dengan jaket yang membungkus tubuh bagian atas, ia menumpukan dahinya pada meja. Sementara di bawah sana, giginya sudah mulai menjamahi kulit lengan. Rahang atas dan bawah menjepit lumayan keras dan lama. Ciptakan sebuah bite mark dengan bau khas saliva yang tercium samar.

Ia ulangi hal itu beberapa kali. Hingga lengannya penuh dengan lingkaran geligi yang tampak menjijikkan. Tak peduli, ia hanya mengembuskan napas sebelum akhirnya mengancingkan kembali kain pada bagian itu.

Matanya mengerjap hadapi cahaya yang merengsek masuk kala ia membuka jaket. Tatapan kosong ia berikan kepada beberapa teman yang kebetulan melihatnya. Itu bukan masalah besar. Karena habis itu tentu ia akan dilupakan.

Ia kemudian merogoh tas, mengambil ponsel yang langsung ia hidupkan di kolong meja. Sebuah pemikiran seketika menyusun diri untuk melakukan sesuatu kepada benda itu.

Setelah berfungsi, ia menyalakan data dan segera meluncur ke sosial media yang ia miliki. Sedetik kemudian, senyum tipis mengembang di wajahnya. Notifikasi yang menumpuk menyebabkan semua itu.

Terkadang, ia menertawakan diri karena ketidakseimbangan yang terjadi di hidupnya. Ia hidup di dunia nyata, tetapi malah menghidupkan dunia maya. Kehidupannya di kedua dunia itu begitu kontras.

Bila di dunia nyata ia merupakan sosok pendiam nan rapuh, itu tidak terjadi di dunia semu yang lebih ia pilih. Di sana, ia selalu bisa tertawa entah apapun isinya. Sekali lagi, ia tidak tahu penyebabnya apa.

Saat ini, satu-satunya hal yang berwarna di kehidupan nyatanya hanyalah lingkup terkecil sosialisasi yang ia miliki; keluarga. Sisanya?Nyaris hanyalah sebuah frame monoton hitam dan putih. Hingga ia menjadi bosan. Terlalu bosan.

Namun, di dunia maya, ia bisa melihat beribu warna. Dari berbagai akun dan kiriman yang ada, ia selalu mampu untuk melengkungkan sudut bibirnya ke atas. Mungkin karena di sana ia seorang anonymous, jadi segala hal yang menyenangkan ia coba.

Namun, di satu sisi ia juga menyadari. Ketergantungannya terhadap dunia maya membuat ilusi baru. Nyata menjadi maya, maya menjelma nyata. Setidaknya, untuk dua tahun belakangan ini.

Tertawa sumbang, ia matikan ponsel itu. Berusaha bersikap kooperatif dengan beberapa teman yang memandangnya aneh. Tentu saja aneh karena ia berbeda dari mereka. Setidaknya dunia mereka tidak dwiwarna.

Terakhir, jaket kelam ia letakkan di posisi semula. Menutupi wajah dan tubuh bagian depan. Menutupi mata yang kembali berkeringat perlahan.

Sekali lagi, ini semua tidak seimbang.

.

Pancor, 09 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now