Day 19; Formats Differ

13 3 0
                                    

"Jadilah seperti mereka."

"Apa nilaimu tidak bisa lebih baik?"

"Mengapa ini sangat rendah sekali?"

"Kau pasti tidak belajar sebelumnya kan? Makanya nilaimu buruk."

"Kau benar-benar payah."

"DIAM KALIAN, SIALAN!!"

Tanpa sadar dirinya berteriak dalam kesunyian ruangan itu. Merasa lemah karena seluruh gema di kepalanya itu malah memunculkan bulir-bulir hangat yang menuruni pipinya. Sungguh. Untuk saat ini, ia amatlah lemah.

Wajah menelungkup ke atas lutut yang menyangga tangan melingkar di sana. Sembunyikan wajah sembab akibat terlalu banyak menahan sesak. Hingga berujung pada isakan kecil yang masih berusaha ditahan di tenggorokan.

Pertanyaannya hanya satu; mengapa dirinya selalu berada di sisi yang salah?

Padahal selama ini ia sudah berusaha sekeras mungkin. Berusaha menjadi yang terbaik dengan caranya sendiri. Berusaha untuk membuktikan kepada orang bahwa ia juga bisa.

Sayangnya, apa yang ia lakukan belum tentu benar di mata orang Kini ia mempertanyakan tentang kebebasannya dalam memilih alur kehidupannya sendiri.

Bagaimana ia tidak bisa menahan diri di saat dirinya dituntut harus menjadi orang lain yang jelas bukan kemauannya? Padahal sudah jelas bahwa semua orang diciptakan dalam format dan pola pikir yang berbeda. Namun, apa yang terjadi? Ia diminta untuk menyamaratakan diri dengan standar orang lain.

Sungguh lucu. Ia menjadi sering tertawa kala orang lain mempertanyakan kemampuannya di bidang tertentu. Yang mana tawa itu akan berubah menjadi raungan sunyi di dalam kamar pengap nan kecil.

Mereka bukan dirinya, pun ia bukan diri mereka. Jadi, mengapa standar di antara mereka harus disamaratakan? Mungkin masih bisa diterima jika yang menjadi patokan adalah yang rendah. Namun, jika itu sangatlah tinggi? Habislah ia hanya untuk terseok-seok dalam mencoba menggenggam itu semua.

Ketidakadilan baginya ini berubah menjadi kegilaan tersembunyi. Di mana ia akan kehilangan kendali pada saat semuanya mengempaskannya ke lubang terdalam. Rela membuat fisik terluka hanya agar batin tidak tersiksa.

Ia sungguh lelah. Lelah hidup pada masyarakat dengan stigma yang mengagungkan bidang tertentu. Sementara bidang lainnya adalah sampah. Beruntung sekali, ia berada di bidang lain itu. Membuatnya dapat melatih kesabaran kala orang lain mulai mengomentari kehidupannya.

Dan dirinya belum terbiasa untuk itu. Semakin hari, batas kesabarannya seolah kian menurun. Yang berujung pada pelampiasan bersifat semu, tetapi menjadi kebiasaan barunya. Kebiasaan yang tentunya merusak mimpinya secara perlahan.

Ia ingin sekali merasakan bagaimana dirinya dipuji atas apa yang lakukan dengan keinginannya sendiri. Bukan dipuji karena berhasil mengimitasi orang. Bukan pula karena dirinya berhasil menunjukkan dirinya bisa, dengan darah yang tersembunyi di belakang sana.

Ia hanya ingin dihargai dengan apa yang ia suka.

Dan sekali lagi. Kehidupan belum mau memberikan itu. Takdir masih senang menyiksanya. Tak jemu melihatnya yang termangu dalam kehampaan akibat semua itu. Permainan yang sungguh licik.

Lamat-lamat, isak tangisnya kembali terdengar. Ia kembali mengasihani diri yang begitu sial dalam permainan semesta. Walaupun ia mengakui, terkadang dirinya memang pantas mendapatkan hal itu.

Ah, entah mengapa ia berhasrat untuk menunjukkan tentang indahnya perbedaan kepada orang-orang itu. Ingin membuktikan bahwa ia juga bisa bersinar dalam dunianya sendiri.

Ia mendongak, berusaha halau air mata yang hendak menerobos kuar kembali. Jemarinya turut membantu menghapus jejak kesedihan itu. Sebelum akhirnya ia memberikan senyum tipis di antara wajahnya yang kusut.

Ia melirik ke atas meja, di mana tugas-tugasnya menumpuk. Kilatan dari setipis logam di sana membuatnya menyipit senang.

Sepertinya ia membutuhkan itu kali ini.

.

Pancor, 19 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now