Day 22; Fell Out

11 3 0
                                    

Suara anakan langit membasahi bumi terdengar merdu. Membuatku menoleh ke arah samping, di mana hujan membentuk tirai di luar sana.

Kupandangi kejadian alam yang menjadi kesukaanku dalam beberapa tahun terakhir itu. Ingin rasanya membawa tubuh ini untuk memandikan diri di bawah mereka. Sayangnya, aku tengah berada di lantai dua dan malas untuk ke bawah.

Alunan musik yang berasal dari earphone tersumpal di telinga menambah lengkap suasana yang terbangun. Syahdu nan tenang. Setidaknya otakku merasakan itu di tengah keruwetan akibat tuntutan hidup.

Lirihan lagu yang terdengar fals menggema sesekali. Pantulkan lirik-lirik yang kusukai dari setiap lagu yang terdengar. Sementara itu, ketukan jari di atas meja ikut sedikit meramaikan suasana yang ada.

Nuansa yang tercipta dari perpaduan semua itu malah membuat hatiku mulai mempertanyakan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan di saat ini.

'Apa makna dari semua perbuatanku di dunia ini?'

Bukan tanpa alasan aku menanyakan hal semacam itu. Karena aku terkadang menemui hal yang tidak sepatutnya, atau katakan saja tertukar.

Orang berulang kali memberi nasihat; tetap berbuat baik, maka kebaikan akan datang kepadamu. Hah. Aku nyaris tidak mau mempercayai hal semacam itu.

Bisa dibilang, aku merupakan salah satu pengikut dari tagline terkenal itu. Berusaha menjadi orang baik di hadapan orang lain. Dengan atau tidak adanya niat untuk mendapatkan balasan yang setimpal.

Namun, otakku mulai mencoba berpikir realistis. Menjadi baik ternyata membuatku mengeluarkan semuanya. Uang, tenaga, waktu, bahkan perasaan pun sudah menjadi hal yang umum untuk terkikis dariku karena harus diberikan kepada orang lain. Masih mengikuti kalimat itu, aku tetap melakukannya.

Sayangnya, mataku memberikan kesaksian yang tidak sepadan. Kenyataan pahit nyaris selalu kurasakan setiap menjalankan kebiasaanku itu. Bertumpuk, hingga berubah menjadi sesak yang nyaris tidak bisa kututupi.

Menjadi baik kini seolah masuk ke dalam hal yang kupertanyakan. Alih-alih mendapatkan balasan, yang ada aku merasa tertekan karena harus selalu memberi.

Munafik memang. Aku akui itu. Sekali lagi, aku memang mulai meragukannya.

Mereka —yang sudah kutolong— hanya bersikap dua macam dalam mereaksikannya. Melunjak dengan membuatku menjadi pembantu, atau pun tak tahu diri dengan apa yang terjadi. Sama-sama bukan sebuah 'kebaikan'.

Satu-satunya alasan mengapa aku tetap melakukannya walau tahu akibatnya seperti itu adalah dorongan dari beberapa orang yang kucinta. Mungkin, satu-satunya hal yang bisa kubanggakan adalah mampu untuk membuat mereka tersenyum karena apa yang kuperbuat.

Bunyi bel sekolah lamat-lamat berdenging dari kejauhan. Menandakan waktu di tempat itu sudah memasuki saat untuk melakukan kegiatan di luar pembelajaran. Sekaligus menjadi pengingat bahwa diriku sudah nyaris dua jam mematut diri di depan hujan.

Kakiku pun melangkah ke luar ruangan. Membuat riakan air jatuh itu semakin terdengar jelas. Dengan hasil tubuhku yang berdiri di dekat pembatas. Menengadahkan tangan, mencegah beberapa di antara mereka menemui tanah.

Air hujan yang tertampung merefleksikan acak bayanganku yang tersenyum tipis. Setipis sebuah keyakinan baru yang perlahan memasuki pemikiran; aku tidak berhasil di dalam hidup ini.

Lelah dan ketidakpuasan berpadu menjadi satu dalam sebuah penyesalan tiada henti. Semakin membanjiri ingatan, mengakibatkan mataku turut menjadi awan mendung.

'Aku memang hanya seonggok daging bernyawa yang tidak berguna. Benar kan?'

Kalimat itu berdenging mantap kala kepalaku mengangguk tanpa sadar. Mengikuti genggaman di pembatas yang menguat guna menopang tubuhku yang perlahan terangkat melewatinya.

Lalu menyatu bersama hujan untuk jatuh ke pelukan bumi.

.

Pancor, 23 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now