Day 17; Nano

5 3 0
                                    

Don't trust your friend anymore.

Kalimat yang sudah sering ia dengar dan kini tengah dijalankan. Mempercayai sesuatu itu memang seperti memegang sebuah bara pada telapak tangan. Butuh keyakinan yang kuat untuk menerima segala resiko demi hasil yang belum pasti.

Terkadang, ia berpikir. Apa itu kepercayaan antar sekitar? Apakah sesuatu yang membuatnya menjalin hubungan dengan yang lain secara mudah? Atau malah sesuatu yang justru menghancurkannua sedemikian kejam?

Sejujurnya, kini dirinya tengah bersusah payah untuk percaya kepada lingkungan. Yang bahkan untuk dirinya sendiri pun, tingkat kepercayaan yang diberi demikian rendah.

Semuanya bermula ketika perasaan itu mulai bertransformasi menerima hal sejenisnya dari luar. Ketika mata belia 6 tahun lalu mulai berbinar menatap sosok lelaki berbeda 4 tahun darinya. Semuanya pun perlahan berubah ketika ia menyadari apa yang ia rasakan.

Cinta.

Perasaan itu begitu menggebu sebagai efek dari permainan otak yang menghasilkan berbagai zat kimia di luar batas. Membuat degup jantung senantiasa meningkat kala melihat dirinya. Atau mata yang enggan terpejam di kala malam hanya karena rupanya membayang. Sayangnya, untuk saat itu ia belum bisa untuk mengungkapkan.

Dua tahun kemudian, nyatanya perasaannya tak bertepuk sebelah tanga. Euforia karena hal tersebut bersambut membuatnya lalai akan sekitar. Tak menyadari kehidupannya yang polos mulai ternodai oleh sesuatu bernama pengkhianatan.

Namun, apa yang bisa dilakukan gadis berusia 14 tahun ketika melihat orang yang mencintainya juga mencintai orang lain? Pikiran polosnya hanya sanggup mengatakan, lelaki itu pantas untuk mendapatkan sosok yang lebih dewasa dari dirinya, bukan?

Ia yang tak tahu apa-apa akhirnya merelakan. Lelaki itu meninggalkannya, berikut dengan sebuah luka lebar yang membekas menjadi trauma. Pertama kalinya, ia menyesal mengenal makhluk bernama lelaki.

Sayangnya, fakta bahwa ia masih remaja tak memungkiri untuk terjatuh ke dalam lubang yang sama. Dengan dua lelaki yang berbeda, hal yang sama nan lebih pahit ia dapatkan kembali. Membuatnya semakin menutup diri untuk keturunan Adam itu.

Dan yang paling menjengkelkan, itu semua membuat perasaannya menjadi kacau balau. Pecah berantakan hingga enggan menyatu seperti semula. Padahal, sudah banyak yang ia korbankan untuk seusia dirinya.

Dan semuanya semakin menjadi kala persaingan intelektual di dunia nyata menamparnya dengan telak. Menyuruhnya kembali menghadapi realita dengan perasaan compang-camping. Alhasil, hasilnya tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Melihat bagaimana hubungan parasit yang tumbuh di balik hubungan timbal balik berbenefit membuatnya menjaga jarak dari sekitar. Trauma masa lalu mengakibatkan hal yang berpotensi membuat kejadian itu terulang semakin meluas; dari lelaki menjadi semua yang ia temui.

Kini, ia tampil dengan berbagai luka sebagai aksesoris permanen yang ia rajut pada jiwa raga. Tawanya kini tak lagi terdengar sama. Pun tatap yang bersemangat itu hilang entah ke mana. Tergantikan dengan tatapan sayu, tetapi berbeda makna.

Untuk ke sekian kalinya, ia memilih untuk menjadi penonton di panggung kehidupannya sendiri. Bagaimana ia bisa membuat sebuah pertunjukan di saat ia tidak bisa memercayai orang-orang untuk ia ajak bekerja sama? Dan dirinya sama sekali tidak menyesali itu.

Kini, hatinya cenderung tertutup. Cenderung menjaga kepercayaan yang semakin mengecil setiap saat untuk diberikan kepada orang yang benar-benar tepat. Yang sayangnya orang itu belum muncul di kehidupannya hingga saat ini.

Karena kepercayaannya bukan hanya sekadar perasaan, melainkan kehidupan yang tengah ia emban.

.

Pancor, 17 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now