Day 3; Elite

19 5 0
                                    

Orang mengatakan hidup laiknya roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Selalu seperti itu hingga gerakannya berhenti di ujung waktu.

Namun, bagaimana jika roda itu tidak bergerak? Tetap melangitkan yang di atas atau membumikan yang di bawah. Menciptakan kehidupan monoton khas televisi tak berwarna.

Dan di sini, aku memikirkan semua itu. Bukan tidak memiliki syukur terhadap pemberian-Nya. Sayangnya, aku sudah lelah harus menjadi boneka tali di panggung kehidupanku sendiri.

"Selamat pagi, Nona."

"Hei, lihat! Itu dia!"

"Dia memang beda ya?"

"Pasti enak menjadi putri tunggal keluarga kaya."

"Dia cantik nan dingin, khas putri pada umumnya."

Aku muak. Aku lelah dengan semua kata bernada riang itu. Karena aku tahu, sesungguhnya itu hanya belati yang disamarkan sedemikian rupa.

Mereka katakan rupawan pada rupa ini, padahal bagiku tak lebih dari wajah boneka kayu. Mereka katakan hidupku nikmat, tanpa tahu aku berusaha untuk 'hidup' di kehidupanku sendiri.

Berkepala dua, hak untuk melirik apa itu hidup semakin dipersempit. Hingga akhirnya, aku sama sekali kehilangan cahaya itu.

Kini aku hanyalah boneka hias di balik altar kaca. Diagungkan, tetapi siap dihancurkan di saat bersamaan.

Kehidupan monoton ini nyaris menarik ulur eksistensi minatku dalam menjalaninya. Bisa saja hari ini aku begitu semangat, tetapi esok ayunan leher pun sudah tersiapkan dengan rapi di lelangit kamar.

Di satu sisi, kehidupan mereka yang selalu mengeluh ingin sepertiku lebih menggelitik. Berwarna walaupun suram. Itu yang kutangkap dari sekian keluh kesah yang mereka lontarkan di dalam kelas.

Bagaimana rasanya berlarian terhujani mentari tanpa perlindungan apapun? Bagaimana rasanya menari di bawah guyuran hujan tanpa diawasi siapapun? Singkatnya, bagaimana rasanya keluar dari penjara emas ini?

Bermodalkan demikian, koper berisi pakaian aku peluk dengan erat. Membawanya keluar dari kamar walau harus merusak gaunku. Lantas, menyuruk melewati lubang rahasia yang sudah kugali di dekat dinding pembatas.

Warna-warni menghunjam iris begitu aku sampai di jalan raya. Lalu lintas kehidupan benar-benar terasa. Membuatku menjadi lebih bernyawa dari sebelumnya. Jadi, begini rasanya dari sebuah sesuatu yang bisa kau sebut hidup itu.

Aku bergegas menuju toilet umum untuk mengganti pakaian. Termasuk menghilangkan jejak dengan cara mematikan ponsel bertahta berlian itu, lalu membuangnya ke pojokan sampah terdekat. Persetan dengan keadaan istana yang pasti tengah sibuk mencari diriku.

Rok semata kaki, blouse berlengan panjang, juga sweater manis hingga ke dada. Ah, tak lupa bandana hitam menyamarkan diri di balik helaian rambut. Terakhir, sentuhan kacamata dan tahi lalat palsu aku tambahkan pada muka.

Penyamaran yang cukup sempurna untuk putri sepertiku.

Kusampirkan tas selempang di bahu, sementara jemari menggenggam erat kotakan koper yang tergeret. Kini penampilanku tak ubahnya turis berlibur. Cukup untuk membuatku merasa bebas di keramaian.

Di sebuah kafe, aku berhenti. Sekadar memesan kopi juga makanan ringan. Untuk saat ini, kurasa aku harus menghemat dulu. Sebelum nanti mencari kerja untuk kehidupan baruku.

Sayangnya, aku tak mahir berimajinasi. Pikiranku terlalu picik untuk mengambil standar yang terlalu wah di tengah suasana seperti ini.  Hingga akhirnya, aku dihadapkan pada realita; yang tentunya tak seindah ekspetasi.

Sehabis menukar beberapa perhiasan dengan jumlah tak sepadan, kini aku berada di pojokan ruangan besi. Hasil dari diriku yabg lengah hingga berakhir menjadi sandera beberapa lelaki seusiaku. Apa mataku yang rabun, atau wajah mereka membentuk mimik yang aneh?

Nyatanya, itu benar adanya. Tercekoki pil putih sebanyak dua kali, aku yang berada dalam ikatan temali tak bisa melawan. Hanya bisa menikmati bagaimana mereka bergilir dalam menghempaskanku ke dalam rasa semu. Sakit berpadu dengan kenikmatan sesaat. Lamanya cukup hingga aku akhirnya tersadar.

Ini bukan ruangan besi itu lagi. Ini adalah sungai besar di bagian kumuh kota. Desir airnya mengalahkan gejolak darahku yang memucat.

Tak bisa berteriak karena seluruh pori terikat tali, aku hanya bisa memejamkan mata kala tubuhku terlempar begitu saja. Menubruk air yang seketika membawaku dengan mesra.

Ah, tiba-tiba aku rindu istana emasku.

*

Pancor, 03 November 2018

[Completed] (Now)vemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang