Day 27; Mad About The Own Self

3 1 0
                                    

"Kau tidak tahu apa-apa! Tidak berguna!"

"Harusnya kau berusaha lebih keras lagi."

"Tidak apa-apa. Semuanya baik."

"Tetap semangat!"

Aliran energi yang kian memuncak hanya memberikan getaran yang semakin terasa. Saking kuatnya, ia hanya mampu memberikan setipis senyum guna menutupi rematan pada dada yang kian menjadi.

Tanpa perlu penegasan ulang dari mereka, ia sudah tahu dirinya hanyalah sebatas daging berangka. Hanya itu. Sebab bagi mereka, ia tak punya akal, juga rasa.

Hei, tidak ada yang mau menjadi seperti ini. Teranggap beban di kala kau mengulurkan bantuan. Itu terdengar memilukan. Niatnya baik. Sayangnya nasib tak selalu berpihak kepadanya.

Di satu sisi, ia ulurkan tangan. Harap dapat membantu berdirinya raga lain, lantas bersama meniti jalan. Namun, apa yang ia dapatkan? Tepisan singkat penggugur perasaan.

Di lain cerita, ia sudah siapkan telinga. Berdoa dapat berikan solusi atas apa yang akan ia dengarkan. Namun, apa yang terjadi? Penolakan halus hanya bisa ia simpan di hati.

Atau pada kondisi yang terbalik. Memimpikan uluran tangan yang akan membantunya hanya menjadi angan semata. Sebab di dunia nyata, ia selalu diacuhkan.

Kadang ia juga membutuhkan jiwa lain sebagai pencatat kisah. Namun, umpatan yang didapatkan akhirnya membuat dirinya menyimpan kesah itu sendiri.

Semua tak sesuai ekspetasi. Semua tak sesuai rencana. Semua tak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Dan itu membuat asanya layu, lantas rontok begitu saja.

Aliran perasaan yang mewujudkan diri sebagai cairan hanya bisa ia tampilkan dalam keremangan kamarnya. Tanpa suara, tanpa isak; sudah biasanya ia lakukan. Lagipula, jika terdengarpun tak akan ada yang peduli.

Karena ia sudah mati.

Bukan hanya air mata yang ia sembunyikan. Bahkan raungannya pun hanya diam. Ekspresi perasaan tertinggi yang begitu menyesakkan. Buat sebuah tanya mengambang di pikiran; apakah dengan ini ia masih pantas memiliki kehidupan?

Getar tubuh yang menjalar ke segala arah pun tiada guna. Semuanya sudah sia-sia. Ia yang seharusnya menebar senyum, malah juga menyembunyikan luka. Muka dua memang.

Tatap kelam berwujud lelangit kamar, ia meneriakkan angin. Terus berulang hingga dadanya sakit sendiri. Mempertanyakan mengapa hidupnya benar-benar laiknya tali berpilin.

Dia marah. Marah kepada diri sendiri yang hanya bisa menjadi remah. Banyak ingin, tetapi minim aksi. Harusnya ia bisa mengubah apa yang terjadi.

Namun, lihatlah. Ia hanya bisa meringkuk pada gelapnya sudut. Meratapi rekam jejak yang mengabu dalam memori. Dan ia tahu, bahwa itu semua sudah tidak bisa diperbaiki lagi.

Masih dalam nada yang sama, tangisnya berubah menjadi tawa. Tetap dengan kegetiran yang menyayat kalbu di kedalaman sana. Berikan simfoni kelam atas rasanya yang sudah tenang.

Selama ini, ia selalu mencoba untuk menyangka baik. Coba tanamkan dalam pikiran dan hati; semua yang mereka lakukan itu demi kebaikannya sendiri.

Ya. Demi kebaikan mereka sendiri, bukan dirinya lagi.

Sungguh ironi ...

Memikirkan itu hanya meremangkan kulitnya yang kusam. Untuk sementara, ia sadar apa itu dunia. Yang di detik selanjutnya kembali teratapi dalam raungan diam berkepanjangan.

Semuanya tak sesuai ...

Tak serasi ...

Hanya membuat rasanya mati ...

Daripada hanya setengah seperti ini, mengapa tidak sekalian saja dirinya mati?

Iya kan?

*

Pancor, 02 April 2019

[Completed] (Now)vemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang