Day 14; Searing

6 3 0
                                    

Untuk ke sekian kalinya ia memberikan tatapan kosong seperti itu. Padahal, ia sudah sebisa mungkin menahan diri untuk mengenyahkan kalimat-kalimat bising bernada menghujat untuk memasuki pikirannya. Sayangnya, telinganya yang rapuh malah membukakan lubang dengan lebar sehingga kini semuanya mengendap dengan tenang pada alam bawah sadar.

Padahal, ia tahu seharusnya dirinya tidak seperti itu. Harusnya sekarang ia tengah menikmati kehidupan normal seorang gadis SMA. Sayangnya, untuk sisa waktu jenjang itu yang hanya lima bulan, rasanya mustahil.

Ya. Mustahil baginya untuk mampu mereguk manisnya masa remaja yang tidak akan terulang itu. Mustahil baginya untuk mengukir kenangan manis di saat penanya hanya sebuah beban bertumpuk, juga stress berkepanjangan.

Dan kini, omongan dari orang yang tidak berkepentingan turut serta memberikan coretan suram untuk dirinya. Turut melukiskan rekam tinta yang tidak seharusnya. Fatalnya, ia tidak bisa menolak itu semua.

Ah, bagaimana bisa ia menolak di saat dirinya hanya sebuah robot yang sudah diprogram? Jadi, bukan suatu keharusan dirinya bisa bertindak sendiri. Ia hanya perlu menjalankan apa yang sudah didiktekan kepada dirinya. Ya kan?

Namun, fakta berkata lain. Dirinya adalah manusia. Makhluk fana yang memiliki berjuta rasa untuk dimainkan. Pada dirinya, berjuta rasa itu hanya merefleksikan diri menjadi sesuatu berwarna hitam, putih, dan abu-abu saja. Selain itu, ia hanya bisa bayangkan dari sisa memori ketika wewarnaan itu masih menyelimutinya.

Berpikir seperti itu, tanpa sadar dirinya menuju dapur. Ia nyalakan kompor begitu panci berisi air keran ia letakkan di sana. Pada kursi yang agak jauh, ia duduk. Tidak ingin terlena bahwa ia harus menjaga itu.

Api yang besar membuatnya tidak menunggu terlalu lama. Segera ia mengambil kain, menggunakannya untuk melapisi tangan dari besi panci yang membara, lantas memindahkan air mendidih itu ke dalam mangkuk berukuran besar.

Selanjutnya, hal yang ia tambahkan adalah segelas air keran, yang tentunya tak akan bermakna apa-apa bila dibandingkan dengan semangkuk besar air panas yang masih mengepulkan asap itu.

Masih dengan tatapan kosong, ia mengambil tempat di depan mangkuk. Biarkan uap air menarik keringat dari wajahnya sebentar, sebelum akhirnya memasukkan perlahan jari jemarinya ke dalam sana.

Panas. Menyengat. Syaraf-syaraf kulitnya seketika menjerit kesakitan. Namun, otak menolak untuk mengangkat mereka. Biarkan kulit putih itu perlahan berubah warna dalam air berasap itu.

Sakit perlahan berkurang di saat pikirannya teralihkan pada beban-beban yang selama ini bertumluk. Beban yang membuat punggungnya terasa akan patah. Yang ajaibnya masih bisa bertahan hingga saat ini.

Tak butuh waktu lama. Hanya sekitar 10 menit tangannya menjadi rebusan dalam mangkuk itu. Suhu air yang semakin menurun membuatnya mendecih kecil. Ia angkat tangannya yang kini bak terlapisi sarung tangan merah, lantas mengambil kasar termos yang ada di dekatnya.

Tahan ringisan kala kulit terbakar sentuh permukaan kasar termos, ia pun menuangkan isi benda itu. Membuat asap tipis kembali mengepul dari dalam mangkuk.

Kedua kalinya, anggota tubuh bercabang itu menjadi rebusan hidup. Menggeliat sebentar, sebelum akhirnya menjadi kaku di bawah sana. Perlahan memerahkan diri, seolah darah yang ada di dalamnya ingin meledak ke permukaan.

Helaan napas nan lega ia dapatkan ketika air sudah menyalurkan seluruh panasnya ke bawah pori-pori kulitnya. Begitu ia mengangkat tangan, hanya takjub yang bisa ia ungkapkan.

Bak Sang Saka Merah Putih, lengannya kini terbagi menjadi dua. Dari ujung jemari hingga pertengahan lengan, tidak ada satupun warna asli kulit itu yang terlihat. Semuanya memerah denyutan pada alur kehijauan yang terlihat jelas.

Sementara dari pertengahan hingga ke atas, kulit sepucat dinding menghidupkan diri. Seolah merasa prihatin terhadap bagian diri yang lain.

Walau demikian, mereka seolah tahu bahwa hal itu adalah kebiasaan dari tuan mereka. Jadi dalam beberapa jam, kulit itu akan kembali sempurna.

Yang sayangnya hanya bertahan di saat tuan mereka merasa senang. Jika tidak? Siap-siaplah mereka untuk kembali menjadi rebusan hidup.

.

Pancor, 14 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now