Day 11; Land Line

12 2 0
                                    

"Dia terlalu penyendiri."

"Aku tidak pernah melihatnya berinteraksi dengan yang lainnya."

"Dia hanya mau berbicara dengan teman sebangkunya saja."

Lamat pembicaraan di belakang punggung menyambangi telinga. Ia yang sedang mencoret-coret kertas buram tak peduli. Tetap meliukkan pena, seolah cuitan yang terdengar sumbang di telinganya itu tak pernah ada.

"Akhirnya jadi juga."

Ia bergumam sendiri melihat apa yang sudah terbentuk sebagai hasil dari paduan tinta jelaga itu. Hanya sebuah garis lurus dengan tebal tak beraturan, berujung siluet abstrak yang terlihat menjuntai.

Bagi orang lain, mungkin itu hanya sekadar coretan iseng. Padahal, ia tengah mempresentasikan keinginan terpendamnya. Ia ingin menjadi siluet abstrak yang tergantung itu.

Benar. Gambarannya adalah sosok siluet yang menggantungkan diri.

Ia tersenyum hambar sebelum akhirnya menyembunyikan maha karyanya itu. Takut jika ada orang lain yang mengetahuinya. Apalagi tingkat kepercayaan terhadap teman kelasnya sendiri nyaris mendekati nol persen.

Mengenai itu, pikirannya kembali memutar ulang apa yang sudah ia dengarkan secara diam-diam. Ia tak protes. Tak peduli. Karena apa yang mereka katakan itu memang benar adanya.

Dengan alasan privasi, ia pun sengaja membangun garis pembatas yang terlalu kaku antara dirinya dengan lingkungan sekitar. Membuatnya mudah dilupakan atau tidak diperhatikan di dalam sosial.

Walau demikian, ia sama sekali tidak peduli. Pola pikirnya perlahan berubah semenjak memasuki SMA. Trauma yang ia dapatkan dari SMP membuatnya membangun dinding tinggi yang bersifat fleksibel. Jika ia sedang dalam kondisi baik, semua orang bisa memasuki area privasinya. Begitu juga dengan kebalikannya. Mood yang memburuk akan membuatnya menghilang sementara dari permukaan bumi.

Namun, semakin lama, fleksibilitas dinding itu semakin hilang. Berubah menjadi dinding imajiner nan kaku semenjak dirinya kehabisan cara untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hingga akhirnya, hanya teman sebangkunya yang mampu mendengar suaranya berbicara tentang keseharian. Pada yang lain, ia seolah robot yang diprogram hanya untuk mengatakan kalimat membosankan.

Sejujurnya, ia iri. Iri sekali dengan bagaimana kawan-kawannya mudah bercanda dalam kehidupan mereka di kelas. Iri melihat bagaimana interaksi antar satu sama lain. Begitu berwarna, mewujudkan perkataan orang tentang indahnya masa SMA.

Sementara dirinya memilih menjadi abu-abu. Terkadang tampak dalam lingkungan, tetapi di detik selanjutnya secara ajaib menghilang tak berbekas. Sekali lagi, ia menikmati semua. Toh tidak ada yang peduli kepadanya.

Terbiasa di sekolah membuatnya secara tidak sadar telah membangun dinding yang sama di dalam rumah walah itu masih samar. Berpatokan pada garis pintu kamar, ia dengan mudah menukar pribadinya untuk menyesuaikan.

Bagaimanapun, ia tidak akan tega membangun dinding pembatas kaku pada anggota keluarganya. Pada mereka, ia hanya memberlakukan garis privasi yang tentunya dipahami. Bukannya privasi itu hak setiap orang?

Ia akan bersikap layaknya anak penurut jika berada di luar kamar. Dan 180 derajat jika ada di dalamnya. Salah satu alasan mengapa ia tidak berani menyimpan benda-benda besi di dalam ruangan itu; ia bisa saja nekat ketika pintunya terkunci dari dalam.

Sayangnya, hobi menulis menuntun otaknya sudah terbiasa memikirkan alternatif lain. Tak ada besi, plastik tipis pun jadi menyileti tangan sendiri. Atau tidak, maka sekujur lengannya akan penuh terisi bite mark. Beruntung gigi taringnya tidak berfungsi dengan baik.

Kembali ke kondisi kelas yang saat ini ribut. Ribut karena pelajaran kosong selama dua jam. Alhasil, ia pun merasa beruntung.

Ini saat yang tepat untuk menghilang.

Hal yang terakhir ia lakukan adalah menelungkupkan kepala di atas meja dengan jaket yang menutupinya. Memberitahu kepada yang lain bahwa ia tidak ingin diganggu. Dengan pikiran yang perlahan terlelap waktu.

.

Pancor, 11 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now