Day 23; The T in Team

7 2 0
                                    

Sekolah dan sosialisasi. Dua kata yang sama sekali tidak bisa dipisahkan. Melekat satu sama lain menyusun sebuah hubungan menyebalkan.

Aku menganggapnya demikian karena sudah terbiasa akan sudut di mana hanya aku yang mengisi. Lantas memberinya pada orang lain? Hah ... Itu menyesakkan.

Sayangnya aku tidak bisa kabur semudah keinginanku. Hidup di dunia mengajarkanku semuanya adalah keharusan, bukan pilihan. Pesimis? Itu adalah diriku.

Kali ini, aku harus menahan jengah kala guru memberi tugas kelompok. Ya. Tugas yang dikerjakan oleh sekelompok— ralat. Maksudku dikerjakan oleh satu dua orang, sementara yang lain hanya mencatut nama.

Sialnya, mata pelajaran ini adalah kesukaanku. Aku sudah bisa menebak kalau yang sekelompok denganku pasti—

"Ah, aku tidak mengerti ini."

"Kau saja yang susun ya.Kalau butuh materi, hubungi aku. Nanti kuberi."

"Bagaimana kalau aku yang mencetaknya?"

—sudah kubilang, aku mengetahui apa yang akan terjadi. Dan yang lebih menjengkelkan adalah aku yang hanya bisa tersenyum tipis dan mengiyakan ucapan mereka semua.

Itu hanya sebuah permulaan. Sebelum nantinya berubah menjadi stress mengendap hanya karena tak bisa membuat tugas tepat waktu. Mereka kira aku tidak mempunyai tugas lain. Ya sudahlah.

Kutatapi layar laptop yang hanya menampilkan cover dari tugas tersebut. Bagian pembuatnya hanya tercantumkan satu nama, yakni namaku. Jemariku tak bisa bergerak. Masih menunggu hasil dari pergulatan batin yang menguras tenaga.

Akhirnya, rasionalitas kalah. Satu persatu nama mereka terketik rapi sesuai absen. Membuat namaku menjadi yang terakhir karenanya. Menimbulkan kesan yang kerja hanya mereka seorang.

Lanjut ke bagian seterusnya, otakku terus merutuki. Terus menghujat Hati yang selalu kalah dalam hal seperti ini. Membuat mata mulai membasahkan diri.

Padahal, di luar ini, melirik kepadaku pun mereka enggan. Sekarang? Mereka seolah-olah menjadikanku panutan. Bergantung, tetapi lupa untuk memanjatkan diri sendiri. Menungguku untuk membuat mereka di ketinggian.

'Bodoh. Harusnya kau tidak melakukannya!'

Inner mengutuk keras. Sementara batin hanya mengiyakan dengan malas. Enggan berdebat dengan ujung memaksa jemari untuk kembali bergerak. Menerima hinaan itu dengan lapang dada.

Dan kini, masuk ke inti materi. Di mana otak lelah menahan resah karena harus kewalahan menghadapi semuanya sendirian. Andai ini bisa dibagi, pikirnya.

Benar. Aku akhirnya menjadikan semua itu menjadi tugasku dengan nama kelompok di atasnya. Menutupi ketidakmampuan mereka dengan keringatku sendiri.

Namun, sebelum tidur karena kelelahan berjalan jauh untuk mencetaknya, otakku meminta sesuatu sebagai upahnya.

Keesokannya ...

"Astaga. Aku lupa membawanya! Maaf ya!"

Padahal aku sengaja mengabaikan kertas berjilid di atas meja belajar.

Rautan dan erangan kekecewaan mereka lancarkan. Protes karena 'kecerobohanku' itu. Sekaligus menahan takut kala akhirnya guru menghukum kami yang tak mengumpulkan tugas.

Bukankah sekarang ini yang disebut dengan 'tugas kelompok'?

.

Pancor, 29 November 2018

.

[A/N: Perlahan tergantung mood, baik (Now)vember dan Hell(o) (Die)cember akan saya lanjutkan prosesnya hingga selesai. Untuk chapter ini, kebetulan jadi sesuai titimangsa. Hanya saja terlupakan dan menjadi drafts. Sehingga saya baru memublisnya sekarang. Trims!]

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now