Day 7; Michelle

23 4 0
                                    

(Based on Michelle - The Beatles)

*

(Michelle, ma belle)
(Michelle, primadonaku.)
(Sont des mots qui vont tres bien ensemble)
(Apakah kata yang pergi bersama-sama dengan baik.)
(Tres bien ensemble)
(Bersama dengan baik.)

*

Surai sepunggung sewarna kecokelatan itu bersinar tertimpa cahaya. Pun netra safir berhias bingkai kaca itu demikian hidup. Seiring dengan bibir tipisnya yang sesekali membuka kecil. Menggemaskan.

Aku hanya memandanginya dari balik kaca dua arah di apartemennya. Ia menghadapku, bercermin, mematut diri dalam balutan gaun sewarna malam.

Aku meneguk ludah melihat bagaimana lekuk tubuh itu terpatri sempurna. Pinggang ramping bersinergis dengan beberapa bagian yang menonjolkan diri. Sungguh. Aku harus sebisa mungkin menahan diri untuk tidak keluar dari tempat ini dan menerjangnya.

Setelah memasang anting mutiara, ia tersenyum pada cermin. Tanpa mengetahui bahwa di baliknya ada lelaki yang siap memangsanya kapan saja. Sungguh senyum tanpa beban.

Ia lalu melenggang dari sana. Mengambil tas yang disampirkan di bahu, lalu keluar seraya menutup pintu. Butuh sekitar dua menit hingga akhirnya aku benar-benar yakin dia sudah pergi dari tempat itu.

Perlahan, kubuka pintu rahasia dari dalam. Lalu keluar dan segera terduduk di pinggiran kasurnya. Kupandangi sekitar ruangan. Tak menyangka aku sudah menjalani rutinitas itu selama nyaris beberapa bulan.

Itu semua bermula dari kejadian satu tahun lalu. Di mana aku menemukan sosok safir dengan tatapan selembut awan, yang membantuku dari kejaran petugas kepolisian. Tertangkap basah dalam mencuri padahal. Namun, bibir tipisnya tegas mengatakan bahwa aku harus diberi kesempatan kedua.

Karenanya, aku langsung tergila-gila. Aku yang sudah sebatang kara sejak remaja tentu saja kaget mendapati gelombang perhatian seperti itu. Hingga aku nyaris tak bisa berkata-kata ketika ia bahkan membawaku ke apartemennya, diberi makan, bahkan juga beberapa lembar dollar guna memenuhi kebutuhanku selanjutnya.

Aku yang sudah semakin jatuh cinta hanya bisa menerima itu semua. Dan dalam hati berjanji bahwa dia akan kumiliki.

Semenjak itu pula aku, yang seorang tunawisma, mendadak menjadi penguntit handal sekelas FBI. Hanya dalam beberapa minggu, aku sudah mengetahui identitasnya dengan lengkap. Termasuk nomor sandi apartemen dan akun-akun privat lainnya. Bahkan, denah apartemennya yang berada di tangan sudah kumanfaatkan dengan baik; aku membuat ruangan di balik cermin kamarnya yang sudah kuganti dengan kaca dua arah.

Jangan heran melihat mengapa aku bisa melakukan itu semua. Jaringan informasi yang ada sebagai jejak peninggalan masa remaja membuatku dengan mudah mendapatkan apa yang aku mau. Walau setelah itu, aku harus merasakan kesakitan karena perasaanku tertolak sebelum diungkapkan.

Dia sudah bertunangan.

Aku hanya melihat lelaki itu sekali. Namun, rasa benciku kepadanya sudah mendarah daging dalam sekejap. Ia merebut wanitaku. Ia merebut cintaku. Walau sebenarnya akulah yang melakukan itu.

Dan mudah saja selanjutnya. Aku hanya bisa menahan sedih melihat bagaimana wanita berambut kecokelatan itu dengan setia menunggu tunangannya yang bekerja di luar kota nan jauh di sana; tanpa tahu sejatinya lelaki keturunan Latin itu sudah meregang nyawa.

Kebusukanku tak bertahan beberapa lama. Dua minggu kemudian ia sudah tahu kebenarannya. Tentu saja. Bagaimana ia tidak tahu sementara aku sendiri mengiriminya kartu ucapan ulang tahun dengan kepala tunangannya sebagai hadiah sampingan?

Dan karena perilakuku itulah ia menjadi trauma. Kasihan. Padahal aku hanya ingin menunjukkan perasaan cintaku kepadanya. Aku ingin membalas apa yang sudah ia berikan kepadaku. Jadi, mengapa sekarang ia ketakutan dengan semua itu? Aku sedih.

Aku semakin murung ketika tak sengaja mendengar percakapannya di telepon dengan entah siapa. Intinya, ia akan pindah dari apartemen itu. Menuju tempat baru dan kehidupan yang baru. Tentu saja aku menjadi sangat sedih karena akan tidak bisa bersamanya lagi.

Oleh karenanya, tengah malam itu aku memberikan ucapan perpisahan. Ia mendadak bisu melihatku yang menyembul dari kegelapan. Ia akan berteriak, sayangnya aku sudah membungkamnya dengan selotip yang mengelilingi leher hingga bawah hidungnya. Ah, kuberikan pujian walau nyatanya ia tak suka.

"Kau tak akan kemana-mana, Honey. Kita akan tetap di sini."

Aku berbisik demikian seraya mengelus punggungnya yang bergetar. Kemudian mengajaknya hidup bersama di balik ruang di balik kaca dua arah. Walau untuk itu, aku harus membagi dirinya menjadi beberapa bagian agar kami bisa muat bersama.

Semenjak itu, keberadaan Nona berambut kecokelatan serta mata safir itu menghilang.

*

(I want you, I want you, I want you)
(Aku ingin kau, aku ingin kau, aku ingin kau.)
(I think you know by now)
(Kurasa kau tahu sekarang.)
(I'll get to you somehow)
(Aku akan mendapatkanmu entah bagaimana.)
(Until I do I'm telling you so)
(Sampai aku lakukan Aku bilang begitu.)
(You'll understand)
(Kau akan mengerti.)

.

Pancor, 08 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now