Day 15; Number of Hits

9 3 0
                                    

Jemarinya bertemu satu sama lain ketika kedua belah tangan itu menepuk. Menimbulkan suara yang segera berpadu sebagai isyarat sorakan bagi para pemenang lomba di depan sana. Namun, darinya itu bermakna sebuah kecemburuan.

Melihat bagaimana piala berpindah tangan, hatinya teriris. Rasakan sengat di dada kala otak mengajaknya untuk kembali menyelami memori berwarna di dasar kesadarannya.

Di saat itu, ia mengingatnya dengan jelas. Bahwa ia pernah berada di posisi itu. Pernah ikut dalam suatu kompetisi dengan akhir menyerahkan piala sebagai persembahan tak wajib kepada sekolah. Sayangnya, itu hanyalah nostalgia dua tahun lalu. Sekarang? Ia hanyalah remahan abu di pinggiran semesta.

Kembali ke kelas, ia pun memilih untuk berdiam diri. Mengistirahatkan jiwa raga dengan cara mencuri waktu tidur. Yang justru mengajaknya untuk kembali ke masa di mana ia masih dikenang sebagai "Sang Bintang".

Ahli Biologi yang pintar memainkan kata. Mungkin itulah yang bisa digunakan untuk menggambarkan dirinya. Seringnya ia mengikuti olimpiade ilmu kehidupan beserta selalu hadir sebagai peserta di lomba kepenulisan membuat tiada yang tidak mengenalnya. Dirinya benar-benar bersinar dengan caranya sendiri.

Terlebih sifatnya yang enjoy dan suka mendekati orang terlebih dahulu, membuat jaringannya semakin meluas. Bahkan hingga ke sekolah tetangga. Ia benar-benar diketahui oleh khalayak.

Sayangnya, ia lupa bagaimana fase kehidupan bintang itu sendiri. Bintang yang bersinar, akan terus membesar. Terus membesar dan semakin bersinar. Dengan akhir akan kehabisan tenaga dan ... Boom!!

Bintang itu meledak, menyusut menjadi lubang hitam yang keberadaannya tidak diketahui oleh orang lain.

Dan kini, ia pun menjalani hal yang sama. Takdir berhasil membuatnya menjadi bintang hidup di bumi. Serta takdir pula yang berhasil mematikan cahayanya.

Dongakan kepala semasa SMP perlahan menghilang begitu ia memasuki galaksi baru bernama SMA. Di mana di dalamnya ada ribuan bintang yang jauh lebih bersinar.

Benar saja. Hanya setahun pertama dirinya bisa mempertahankan sinar menyilaukan itu. Sebelum akhirnya ia meredup, meledak, dan mati.

Kehidupan yang berbeda drastis. Ia yang terbiasa mengikuti lomba, kini harus puas sebagai penonton di barisan terbelakang. Atau ia yang dikenal oleh semua orang, kini seolah menghilang dari permukaan.

Sungguh menyedihkan.

Namun, mau bagaimana lagi. Bagaimana cara bintang itu kembali bersinar di saat bahan bakarnya habis tak bersisa? Bagaimana caranya bangkit menengadahkan kepala di saat dukungan tak ada dengan hinaan yang semakin mencerca? Hingga akhirnya ia memilih untuk tetap menjadi lubang hitam. Terbelakang, tidak diketahui, dan tidak ada yang peduli.

Rasa ingin bangkit terkalahkan kesal terpendam terhadap kawanan sendiri. Bagaimana mungkin ia akan bersinar sementara bintang di sekitarnya bermain curang? Ingin bersinar, tetapi meledakkan bintang sebelahnya.

Pusing memikirkan itu, akhirnya ia memilih keyakinannya saja. Toh ia sudah nyaman dengan ini, walau hati kecilnya memberontak. Menjadi yang tergelap sepertinya mengasyikkan. Walau di aslinya itu menyakitkan karena terlupakan.

Namun ...

Hei, bukankah jika ia terlupakan, mudah nanti baginya untuk meledakkan diri dengan total pada akhirnya? Karena tidak akan ada yang peduli dan merasa bertanggung jawab terhadap lubang hitam yang terpinggirkan.

Senyumnya tertarik. Dengan pemikiran itu, akhirnya ia menerima statusnya sebagai yang terpinggirkan. Malah kini berencana semakin menggelapkan dirinya.

Agar nanti jika ia tiada, tidak ada yang perlu ia risaukan karena semuanya tidak peduli, kan?

.

Pancor, 16 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now