Day 12; Compete

12 3 0
                                    

Dan akhirnya, Kura-kura pun menang. Sementara Kelinci menangisi kebodohan dirinya sendiri. Andaikata ia tidak terlena, mungkin yang berdiri di garis finis itu adalah dirinya.

Aku mengembuskan napas mengingat kalimat buatan otakku sendiri tentang kartun yang sering ditonton oleh adikku. Kalimat yang membuatku meragu setiap membayangkannya. Bagaimana jika aku adalah Kura-kura? Atau apa yang terjadi jika aku adalah Kelinci?

Mata tertutup seiring tubuhku yang menyandar pada sandaran kursi. Lepaskan beban, mencoba berpikir lebih rileks. Akhir-akhir ini aku memang selalu tegang; karena berbagai jenis ujian yang akan menghadang.

'You know? You can't do anything, do you?'

Segera kututupi wajah menggunakan sebelah lengan kala merasakan kehangatan yang menjadi di pelupuk mata kiri. Batinku tertawa. Hambar. Suara imajiner itu berhasil merusak seluruh asa yang selama ini kubangun.

Namun, aku tidak protes. Untuk apa menginterupsi sementara itu benar adanya? Benar-benar nyata semenjak diriku memasuki kehidupan SMA yang tidak pernah kusangka.

Aku ... kalah.

Padahal, aku tidak merasa seperti ini ketika SMP. Ke mana semangatku untuk belajar? Ke mana perginya keinginan untuk menjadi yang terbaik? Mengapa rasa untuk memperbaiki itu musnah?

Di SMP, aku memiliki semuanya. Gairah dalam berkompetisi begitu menyala, begitu mengakar dalam keseharian. Tiada waktu yang terlewat untuk menunjukkan performa masing-masing di kelas. Sungguh berat, tetapi begitu nikmat ketika kujalani.

Namun, begitu SMA, semuanya hilang tak berbekas. Ah, setidaknya mungkin satu semester awal masuk ke dalam pengecualian. Hanya di rentang waktu itu aku merasa hidup dalam berkompetisi. Sisanya? Tidak lagi.

Aku yang terbiasa mengikuti berbagai lomba walau murid baru, kini harus puas mendekam di barisan terbelakang melihat bagaimana rivalku yang tengah menerima pernghargaan di tengah lapangan sana. Sesak? Tentu saja. Namun, apa yang bisa kuperbuat selain mempertemukan kedua belah tangan, memberikan selamat walau itu tidak berarti apa-apa?

Air mataku dengan lancar menuruni landaian pipi. Ah, setidaknya bebanku sedikit terasa berkurang seiring lidahku yang mencecap air bergaram itu. Napasku yang memburu, perlahan teratur kembali.

Sayangnya, memori kelam enggan berhenti memutarkan diri. Kini ia kembali menyeretku untuk memasuki sesuatu yang lebih suram daripada kenyataan itu. Sesuatu yang membuatku hanya bisa menggigit bibir, menyadari betapa bodohnya diriku.

Patut saja aku tidak bisa muncul lagi ke permukaan berisi lebih dari seribu siswa. Sementara dalam lingkup terkecil dengan 36 nyawa saja aku sudah tidak sanggup untuk menghadap cahaya. Ya. Bahkan di dalam kelas pun, aku harus puas berada di balik bayang-bayang mereka; para bintang kelas.

Ribuan kalimat bernada positif sudah kujejalkan di kepala. Mencoba memotivasi diri untuk ikut masuk ke dalam cahaya. Namun, apa dinyana, sesuatu tak kasat mata menghalangi itu semua.

Regukan ludah kulakukan setiap sepuluh besar disebutkan. Berulang setiap enam bulan sekali, berakhir dengan aku yang menangisi diri. Begitu bodoh. Begitu dungu. Lantas untuk apa aku tetap bertahan dalam lingkungan yang terus menitikkan air mataku ini?

Padahal, mungkin saja di antara mereka jauh lebih kurang daripadaku. Aku tahu jelas hal itu. Sayangnya, ada hal yang tidak aku miliki, tetapi ada pada mereka. Semangat untuk menghidupi kehidupan sudah lama musnah dari dalam jiwaku.

Dan sampai sekarang aku masih meratapinya. Apa yang sudah kuperbuat sehingga mendapatkan balada seperti ini?

Hingga akhirnya aku tersadar. Sekali lagi, tawa hambar keluar begitu saja. Menyadari untuk ke sekian kalinya mengapa pemikiran ini begitu lemah dalam berjuang di lingkungan bernama sekolah.

Tidak mau memikirkan itu, akhirnya aku memilih untuk terlelap sejenak. Terlepas dari kesimpulan menohok yang membuatku tersenyum getir.

Akulah si Kelinci dalam cerita. Dan penyesalan kami begitu sama.

.

Pancor, 12 November 2018

[Completed] (Now)vemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang