Day 30; Can't Do This

7 2 0
                                    

Tik tik tik

Suara detak jam itu mengganggu. Tepatnya mengganggu dirinya yang termenung dalam kesendirian. Ya. Di dalam ruangan berukuran 3×3 meter dengan lampu tidak dinyalakan itu ia memojokkan diri. Tidak ingin menjadi pusat, bahkan di saat yang ada hanya dirinya sendiri.

Bukan tanpa alasan ia menyatu dengan sudut ruangan. Bila kemarin karena rasa takut akan apa yang ia lakukan, kini lebih karena rasa tertekan yang meluap, lain dari biasanya. Sampai sekarang ia tidak percaya akan apa yang terjadi hingga saat ini.

Benarkah ia sudah sampai sejauh ini? Benarkah kakinya sudah meninggalkan banyak jejak di belakang sana? Mengapa ekspetasinya tak kunjung ada kala ia semakin di depan? Itu membuatnya takut dan tertekan.

Gemetar tubuhnya memberi sinyal akan perasaan negatif yang terus menguar. Padahal biasanya tidak seperti ini. Padahal ia menjalani kesehariannya dengan normal. Ia menikmati semua itu.

Tunggu ...

Apa benar itu semua normal? Apa benar ia menikmati semuanya?

"TIDAK! AKU TIDAK SEPERTI ITU!!"

Raungannya menggelegar, bantah segala pertanyaan yang bahkan tidak bisa ia jawab. Hatinya mendadak tumpul atas semua ini. Pun otaknya seolah enggan untuk turun tangan.

Menyedihkan.

Isak tangis lantas merajai ruangan gelap itu. Isak tangis yang berubah nadanya setiap beberapa saat, juga berbeda arti di setiap embusan napas itu keluar. Benar-benar bingung atas apa yang sebenarnya terjadi.

Gila. Ia memang gila.

Berhenti menumpu wajah pada lengan di atas lutut, ia mendongak. Menatap langit-langit kamar yang tidak bisa ia lihat jelasnya. Namun, ia tahu. Mereka mendengarkan.

"Aku ... tidak ... bisa...," gumamnya, "terus ... seperti ... ini ...."

Gumaman itu ia rapalkan terus seolah untuk menyemangati diri. Lucu jika kalimat berkonotasi negatif itu bisa memberikan harapan. Karena ia sudah kehilangan sesuatu bernama harapan itu sejak dulu kala.

Perlahan tubuhnya bergerak dalam kegelapan. Tangannya bergiliran meraba lantai dan tembok. Dingin dan lembap. Setidaknya ia tahu dirinya masih berada di bumi.

Lantas ia pun menyeret diri dalam arti yang sebenarnya. Terseok-seok hanya agar tubuh kurus itu berpindah tempat, walau tetap sama-sama di sudutan ruangan. Butuh waktu agak lama mengingat tenaganya sudah terkuras oleh air mata.

Tubuhnya memang berpindah menuju pojokan sebelah. Namun, tidak dengan jiwanya yang masih bertahan di tempat sebelumnya. Seolah bentuk halus dirinya itu dirantai dengan kuat. Bahkan untuk berpindah tempat pun ia tidak bisa.

Itu semua memang hanya pengandaian. Pengandaian yang sangat tepat dengan kondisinya saat ini. Boleh jadi tubuhnya memang masih hidup, mampu melakukan apapun yang makhluk hidup lakukan.

Namun, bagaimana dengan jiwanya? Apa yang terjadi dengan hasratnya? Baik-baik saja kah perasaannya?

Tidak.

Mereka semua mati. Sudah sedari dulu semenjak tubuhnya membuat salah satu sudut tajam di ruangan itu berisi.

Semua kegelapan yang saat ini ia rasakan membutakan inderanya. Ia tak tahu apa itu cahaya lagi. Ia tak tahu apa yang disebut dengan alam. Ia hanya tahu kegelapan. Ia hanya tahu warna hitam.

Karena itu pula ia hanya tahu satu hal; ia tidak akan bisa terlepas dari semua ini.

Ia sudah lunglai.

Ia sudah tak berdaya lagi.

Ia sudah tidak bisa melakukan apapun setelah ini.

'Lantas, apa yang harus kulakukan?' Hati kecilnya memberanikan diri untuk bertanya.

Seketika itu juga ia mendapatkan jawabannya;

Mati.

.

Gomong, 6 Oktober 2019

[Completed] (Now)vemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang