Day 25; University

2 2 0
                                    

"Yang bisa mengikuti pendaftaran jalur undangan hanya delapan puluh delapan orang dengan peringkat teratas dari jurusan ini."

Kalimat itu mengawang di pikiran. Sama sekali tak berniat untuk mengabur sedikit pun. Isap habis seluruh harapan yang tersisa dari pahitnya kenyataan.

Kepalanya menghilang di balik bantal. Mencoba tenggelam dalam tebalnya tumpukan kapuk, berharap pemikiran pesimis itu juga akan tenggelam dengan sendirinya. Sayangnya, ia tahu itu tidak akan pernah bisa.

"Apa kau yakin bisa masuk ke daftar itu?"

Ia masih berharap. Masih tetap berharap walau ia tahu harapannya sudah musnah. Dengan nilai yang hanya sedikit di atas rata-rata, sedikit juga kemungkinan ia bisa masuk ke jajaran orang terpilih.

Sudah menjadi impiannya untuk masuk ke universitas dengan jalur undangan itu. Oleh karena itu juga ia masuk di SMA ini; yang merupakan sekolah bonafit terkenal di daerah itu. Pikirnya, tentu semua akan menjadi mudah ke depannya.

Naif? Memang. Sudah lama sekali ia mengakui dirinya naif. Begitu naifnya sampai hanya sanggup memikirkan, "terkenal berarti bagus".

Ingin dirinya menertawai semua itu. Sekarang, setelah nyaris tiga tahun akan ia lewati di gedung berlantai dua ini, ia menyadari sepenuhnya. Ia salah.

Matanya terbuka lebar. Bagaimana bisa ia tersesat ke tempat laiknya neraka ini? Ia sebut neraka sebab buat dirinya menggila dalam definisi sebenarnya. Kehidupan berterapkan hukum rimba sudah membuatnya luluh lantak.

Kini, ia akan meninggalkan itu semua. Masuk ke dunia semi dewasa yang akan semakin memainkan akalnya yang masih hijau. Jangankan masuk, belum masuk pun ia sudah lambaikan bendera putih ke cakrawala.

"Kau mau kuliah di mana?"

"Ha? Mau masuk kedokteran? Yakin? Yang ada kau menjadi pasiennya."

"Apa kau tak tahu malu? Banyak yang lebih pantas darimu untuk masuk ke sana."

"Kau lebih baik mundur saja."

Berujung senyumnya terkulum, ia hanya terdiam mendengarkan itu. Karena fokus dengarnya sudah teralihkan pada retakan di kedalaman dada; apa dirinya memang seburuk itu?

Ia sejak kecil memang menyukai ilmu kehidupan itu. Membayangkan tawa dan terima kasih dari mereka yang dibantu sudah membuatnya bahagia sendiri. Hingga tekad untuk meraihnya tertanam dengan bagus di daftar pikirannya.

Namun, memasuki tahap akhir sebelum memasuki dunia pra itu malah membuatnya hancur. Tubuh nan lemah berpenyakitan, ditambah dengan ungkapan tak berperikemanusiaan sudah menjadikan asa itu mengabu dalam kegelapan.

'Apa aku memang tak pantas?'

'Apa aku harus mundur?'

Dua pertanyaan bongkar habis bendungan di mata. Biarkan aliran bergaram menuruni wajah curam. Kosongkan batin akan perasaan yang siap meledak.

Ia memang hanya manusia minoritas yang mengharapkan secuil kebahagiaan di kerumunan para superior. Perjuangannya meraih asa berbeda dengan para gemintang di luar sana.

Namun, sekali lagi, apakah dirinya seburuk itu untuk hanya sekadar berharap? Padahal harapannya tak lebih. Hanya selukis senyum di wajah yang ia panggil "Ayah" dan "Ibu" sudah cukup untuk membayar hidupnya. Dan dirinya harus terseok-seok hanya untuk itu.

Hela napas dalam nan berat, ia coba berpikir positif. Jalur undangan bukan satu-satunya pintu masuk ke universitas impian. Masih ada beribu jalan untuk menjadi bagiannya. Walau untuk itu, harus ada yang menjadi tumbal lebih.

"Kau pasti bisa!" gumam pada diri sendiri, ia coba rangkai senyum percaya diri di depan kaca.

Sayangnya, pantulannya berubah sendu, sebelum memberi sinisan semu.

'Kau tahu bahwa kau sudah gagal dari dahulu, kan?"

.

Pancor, 03 Februari 2019

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now