Day 6; Demonstration

17 3 0
                                    

Manusia memang egois. Setidaknya itu yang ia ketahui semenjak menginjakkan kaki di jenjang atas dalam strata pendidikan.

Dalam tatapan sayunya, seluruh orang di dekatnya seperti kesetanan. Mengejar apa itu peringkat tanpa peduli jalur yang mereka tempuh. Rela memasangkan beribu topeng untuk berhubungan, padahal aslinya saling menjatuhkan.

Sementara dirinya berada di sini. Berada di balik cahaya dengan alasan yang masih sama kelamnya. Entah mengapa ia tak memiliki api semangat seperti yang lainnya.

Ia mengakui dirinya begitu naif. Betapa mudah dirinya untuk dimanfaatkan secara brutal oleh kawan-kawannya. Dan ia sama sekali tak menolak. Hanya menyumpah serapah di dalam batin, setelah itu ia akan berubah menjadi boneka terkekang rantai.

Mulutnya tidak terbiasa untuk mengungkapkan pikiran. Pun batinnya tak kuasa menolak kehendak yang datang. Bodoh memang. Ia akui itu. Namun, ia juga tidak bisa melepaskan diri dengan mudah.

Hingga akhirnya, semuanya menjadi beban bertumpuk. Menekan jiwanya yang rapuh. Berakhir dengan depresi berkepanjangan yang ia sembunyikan di balik wajah pucat nan polos miliknya.

Semua mengiranya sebagai sosok penurut nan pendiam yang sesekali bisa tersenyum ramah. Mudah untuk dimintai pertolongan. Ya. Ilusi itulah yang ia ciptakan ketika berada di luar kamarnya.

Padahal, entah berapa kali ia mencoba melampiaskan beban batin itu melalui fisiknya. Ia hanya berwajah datar ketika air panas merebus jemarinya, menatap kosong pada lengan yang memerah karena disileti, atau hanya menggigit bibir kala klimaks menghampiri dirinya yang melakukan sesuatu pada 'privasi' tubuhnya.

Sekali lagi. Ia hanya membutuhkan pelampiasan.

Dan kebiasaan selama dua tahun belakangan ini sukses membentuk dirinya yang lain. Dirinya yang meminta pengakuan dan perhatian, bersembunyi di balik raga pucat bermata cokelat. Muncul di saat batinnya rubuh terkena masalah.

Seperti saat itu. Ia yang tengah asyik memainkan ponsel, tentu saja kaget karena kedatangan guru. Tak sempat menyembunyikan benda itu membuat guru menangkapnya. Sekali lagi, ia hanya berwajah datar seolah merelakan.

Namun, begitu wajah tertelungkup di atas meja, isaknya perlahan keluar. Merasa tak adil karena hanya miliknya yang terambil. Padahal, nyaris seluruh anggota kelas juga melanggar peraturan itu. Namun, mengapa hanya dirinya yang kena?

Orang mungkin akan menganggapnya bodoh hanya karena hal sepele seperti itu. Apalagi beberapa teman mencoba menyabarkannya, mengatakan guru akan mengembalikannya dengan segera. Sayangnya, otaknya sudah berhenti menerima informasi semenjak separuh jiwanya itu tak ada di sampingnya.

Berlebihan? Mungkin. Namun, itu memang benar. Ponsel berwarna emas metalik itu sudah ia isi menggunakan separuh jiwanya. Entah ia mengidap Nomophobia atau tidak, nyatanya ia hanya akan merasa tenang jika benda itu ada di dekatnya.

Persetan dengan perkataan orang. Ia mengambil tempat pensil, mengeluarkan penggaris besi dengan ujung lancip dari sana, lalu dengan cepat menggoreskannya pada lengannya yang terbuka.

Tidak berdarah. Hanya timbulkan guratan demi guratan berwarna merah yang tidak sedap dipandang mata. Apalagi caranya yang histeris. Tentu saja seketika teman-temannya menjadi ribut; panik.

Ia tak akan berhenti melakukan itu andaikata teman lelaki yang sudah ia anggap sahabat mengunci pergerakan tangannya dengan kuat. Sementara yang perempuan segera mengambil alih penggaris di tangan.

Perlahan, napasnya menjadi teratur. Kerumunan di depannya perlahan bubar setelah dirinya melayangkan tatapan kosong khas orang yang dirasuki sesuatu. Pun sahabat lelakinya itu berusaha untuk menasehatinya.

Kali ini, ia menurut. Menyembunyikan gelegak amarah di balik langkahnya yang lemah. Sungguh. Demonstrasi tadi belum cukup. Ia memerlukan banyak lagi kesakitan fisik demi meringankan batinnya yang sudah menjerit.

Masokis? Mungkin saja.

Maka daripada itu, ketika pulang sekolah, ia menolak tawaran seorang teman yang bersedia mengantarkan ia pulang. Tidak. Ia tidak mau pulang dalam keadaan seperti ini.

Ramai lalu lintas karena waktu pulang sekolah ia respons dengan gigitan pada bibir. Ia sudah bertekad bulat. Ia harus melaksanakannya.

Oleh karenanya, kakinya melambat ketika satpam sekolah membukakan jalur ke seberang jalan. Ia berusaha berjalan selambat mungkin agar timing yang ia dapatkan tepat ketika ekor matanya menangkap truk sewarna tanah mendekat.

Hingga akhirnya ...

BRAKK!!

... ia mampu mengukir senyum penuh ketenangan. Walau teriakan histeris saling bersahutan kala sosoknya bersimbah darah di atas permukaan jalan.

.

Pancor, 06 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now