Day 28; All Over

4 1 0
                                    

Detik jam melambat. Ciptakan ilusi waktu tersendat. Setidaknya bagi sosok bermuka tertunduk di sudut sebuah kamar remang.

Lemahnya tangan yang berayun ditumpu lutut terpaku hanya ia tanggapi dengan desah singkat. Entah sudah berapa kali dirinya melakukan itu terhitung semenjak tiga jam lalu; saat dirinya menyadari realita miliknya tak sesuai dengan stigma sekitar.

Tengadahkan wajah, lelangit kamar nan bersih ia temui. Tiada sesuatu apapun di atas sana. Hanya atap berlapis cat keabuan tanpa noda. Suasana yang cocok dengan dirinya yang dirundung nestapa.

Entah sejak kapan dirinya merasakan itu. Barangkali sudah berbulan-bulan, arau malah bertahun-tahun. Timbulkan gelak tawa miris atas ketidakpekaan yang mengakut.

Padahal ia sudah berusaha sekuat mungkin. Apa yang ia miliki terserahkan sudah. Sudah berpindah tangan. Namun, mengapa dunia masih enggan meliriknya? Bahkan bulatan tanah raksasa kecil itu tega memainkannya, seolah relikui yang pantas ditertawakan.

Orang kata hasil tak akan mengkhianati usaha. Sayangnya, itu tidak berlaku. Bagaimanapun ia berjuang, ujung-ujungnya hanyalah sampah tak terdaur ulang. Selalu menerima kata negatif sudah mengubur impiannya yang mengawang jauh di dalam bumi.

Apa salahnya ia tampil berbeda? Apa salahnya ia mengutarakan isi otak? Apa salahnya ia berani memberontak, hancurkan sistem yang berkecamuk gila?

Di kemudian hari, ia tahu jawabannya; itu salah besar. Benar-benar besar sampai dirinya nanti akan mati sebagai makanan belatung di tempat sampah. Bukan cacing menggeliat di kedalaman tanah.

Stigma sekitar menuntut monokrom yang membosankan. Stigma menuntutnya menyembunyikan segala neraka yang berkecamuk di dalam diri. Stigma pula yang mengekangnya demikian kuat, hingga ia hanya bisa mengangguk; antara pasrah atau tidak.

Lelah dirinya terus mengaum tanpa suara. Lelah pula dirinya terisak dalam diam. Hanya demi pelampiasan yang tak sepadan akan deritanya. Semua karena persetan stigma yang menghancurkan dirinya; benar-benar hancur hingga kini hanya serpihnya.

Suhu meningkat di mata berubah menjadi aliran bergaram yang ia diamkan. Didiamkan atau tidak, hasilnya sama saja. Tak akan ada yang tahu apa yang ia alami di sudut kecil ruang remang itu. Hanya dirinya dan hati kecilnya saja.

Embusan napas keluar kala ia mendesah pelan. Selanjutnya, gelengan kepala terbuat singkat. Semakin lama semakin kencang. Mengikuti bibir yang menganga; udara keluar sebagai teriakan bisu tak terdengar.

Semua sudah berakhir. Semuanya usai di sini. Semuanya tamat begitu cepat. Semuanya sudah menjadi jalan buntu di mana dirinya terduduk meratapi nasib.

Apa ...?

Bagaimana ...?

Mengapa ...?

Ribuan pertanyaan beranak pinak laiknya bakteri berkembang biak. Ciptakan perasaan sesak karena otak yang tidak bisa bertindak akibat tanya membludak. Alhasil, dirinya berharap singkat;

Harap detik hentikan detak.

.

Pancor, 28 Mei 2019

[Completed] (Now)vemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang