Day 21; Life Pressure

8 3 0
                                    

"Hei, kau akan masuk di universitas mana?"

"Jurusan apa yang akan kau ambil?"

"Mau masuk lewat jalur apa? Prestasi atau tes?"

Gerakan menyuap pada sendok di tangan ia hentikan kala mendengar hal itu. Walau bukan ditujukan kepada dirinya, tetapi tetap saja ada yang teriris kala otaknya refleks menanyakan hal yang sama. Menanyakan kepastian dari tujuan hidup sebuah ampas semesta seperti dirinya.

Ia hela napas perlahan, sebelum mengakhiri sesi makan siang yang sengaja ia lakukan menjelang pulang sekolah ini. Namun, siapa sangka jika ia malah mengetahui hal yang seharusnya tidak ia pikirkan?

Itu hanya seharusnya. Padahal di kenyataan, hidup tidak memberikannya kemudahan untuk melaksanakan apa yang ia mau.

'Ke mana aku setelah ini?'

'Peran apa yang akan kumainkan sepuluh tahun mendatang?'

'Apakah aku bisa menemui apa yang aku inginkan?'

'Atau malah kembali terjebak pada sistem di mana aku bisa hidup jika menjadi apa yang diinginkan orang lain?'

Tanpa sadar, ia menunjukkan perasaan tertekan yang ia alami. Rambut kusut menjadi bukti bahwa ia benar-benar sudah lumpuh dipermainkan oleh takdir yang selalu berubah.

Perlahan, ia mengambil tas lalu disampirkan di pundak. Berjalan gontai menyusuri jalan, dengan kaki yang sesekali menendang kerikil yang berserakan.

Bisingnya jalanan di jam seperti itu tidak ia pedulikan. Wajahnya ditarik kuat oleh gravitasi. Hingga nyaris menabrak tiang yang seolah juga prihatin terhadap keadaannya.

Menyimak langkah yang saling mendahului, otaknya menyusun cerita. Bagaimana dan apa yang terjadi jika ia melakukan sesuatu. Intinya, itu haruslah membuat dirinya hidup di atas kulit bumi ini.

Namun, untuk itu, ia sama sekali tidak memiliki modal untuk menjalaninya. Usianya masih muda, tak mencapai kepala dua, tetapi penyesalan sudah bertumpuk sedemikian rupa. Membuat sang Takdir tergelak sedemikian rupa.

'Bodoh memang.'

Langkah kakinya terhenti ketika menyadari dirinya berada di atas jembatan yang menghubungkan tempatnya dengan kota sebelah. Saking malasnya berpikir, otaknya malah membawanya ke sini. Ke tempat setinggi 10 meter dengan dasar berupa sungai berarus deras.

Sejuknya angin membelai kepalanya. Coba tarik dirinya untuk bercerita. Ia hanya memejamkan mata, seolah akan tertidur oleh semilir itu. Lantas, matanya pun membuka dan memperlihatkan sebuah pupil yang menatap sayu. Tipis akan hasrat untuk menjalani kenyataan.

Bibirnya bersenandung kecil. Mencoba alihkan pikirannya yang semakin menghitung detik-detik yang sudah ia lalui berikut isinya. Dengan ujung hanya penyesalan yang ia dapatkan.

'Aku memang tidak pantas untuk ini semua.'

Ia menoleh, mendapati sepasang tua renta yang tertatih selama saling menggandeng satu sama lain. Ia tersenyum melihat kebahagiaan simbolik itu. Seolah hidup meringankan beban kepada tulang-tulang mereka yang rapuh. Yang tentunya tidak akan ia dapatkan; untuk saat ini atau malah selama-selamanya.

Derasnya air di bawah membuatnya menengok. Membiarkan tatapannya seolah dibawa oleh arus di bawah sana. Yang sukses membuat kepala berikut matanya menjadi kosong; kehidupannya sudah terbawa menuju lautan.

Tas di punggung ia keluarkan dan ditaruh di badan jembatan. Sementara dirinya berjongkok, membongkar isinya. Lalu, sebuah benda panjang ia keluarkan.

Ibu jarinya mendorong tonjolan di sana, menyebabkan besi tipis nan tajam keluar panjang. Yang selanjutnya berada di atas angin berikut pergelangan tangan kiri yang ada di bawahnya.

Tatapan bak ikan mati itu tak gentar sedikitpun kala besi itu menggores lembut benang-benamg berwarna hijau di tangannya. Menjelma menjadi lautan berwarna merah pekat yang langsung terjatuh ke sungai. Termasuk menjatuhkan warna kulitnya yang berubah menjadi pucat hanya dalam hitungan detik.

Cutter itu terjatuh. Disusul dengan tubuh setengah sadar yang ikut bersamanya. Membiarkan sungai membawanya ke tempat yang jauh dari sana.

.

Pancor, 23 September 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now