Day 16; In So Many Words

7 3 0
                                    

Terlalu ramai. Terlalu bising. Ia segera menutup mata, berusaha menghalau semua suara sumbang itu memasuki telinga. Berusaha tidak bersikap aneh di dalam kerumunan seperti ini.

Sayangnya, gosip-gosip itu seolah kebal terhadap halangan. Sebegitu mudahnya mereka memasuki kepala. Ciptakan delusi sebagai teriakan atas jiwa yang protes tak terima. Sekali lagi, ia hanya bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Andaikata ia berani, ia ingin mengatakan semuanya. Ingin mengungkapkan ketidaknyamanan atas suasana yang diciptakan oleh kawan-kawannya sendiri. Walau ia sendiri mengakui, ia tidak akan mampu melakukan itu. Setidaknya untuk saat ini.

Memilih bersikap kooperatif, ia mengambil jaket dan menenggelamkan tubuhnya pada benda itu. Sembunyikan keberadaan untuk yang ke sekian kalinya. Berharap masalah kan bubar begitu ia membuka tudung sewarna jelaga itu.

Nyatanya, bermimpi pun malah mengajaknya semakin berdelusi dengan kuat. Hadirkan berbagai ingatan yang sekian lama terpendam. Meminta untuk diungkapkan saat itu juga. Dan ia memilih untuk kukuh bertahan. Walau itu sama saja dengan meledakkan dadanya oleh sesak.

Sebagai orang pendiam, ia memiliki lebih banyak pemikiran yang tak tersampaikan. Pemikiran yang terdiri dari ribuan kata tersendat di tenggorokan, berubah menjadi beban bersemayam di batinnya. Terus memberat seiring berjalannya waktu.

Dan kini, ia tidak tahu harus melakukan apa terhadap semua itu. Ia sudah nyaman dengan dunia yang hanya dirinya bisa memasuki tempat itu. Tak ingin sampai dijamah oleh orang asing. Ironisnya, dunianya itu pula yang menjadi sarang dari semua akar masalah berkepanjangan ini.

Toh siapa juga yang peduli? Semuanya hanya akan peduli begitu dirinya sudah tiada.

Bibirnya menahan diri untuk tidak membuat lengkungan tipis. Berusaha untuk tidak menertawakan kebodohannya sendiri. Hal yang ia rasa sangat sulit untuk dilakukan. Karena dirinya selalu berpikir seperti itu.

Lagi, aliran memori membanjiri. Hingga nyaris merubuhkan tanggul di matanya. Jemarinya bergerak ke atas, hapus jejak garam nan lengket itu dalam sekali gerakan. Bahkan untuk menangis pun ia hanya bisa melakukannya dalam diam.

Padahal banyak yang ingin ia ungkapkan kepada dunia. Yang sayangnya hingga saat ini hanya bisa dikatakan melalui ungkapan tersirat pada tulisan. Lidahnya selalu kelu untuk berpendapat walau melihat hal abnormal di depan mata. Ia tahu bahwa ia harus bertindak, yang justru tubuhnya menolak.

Sungguh menyiksa dan ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyudahi itu semua. Kadang kala, ia berikan tatapan iri pada kawan-kawan yang begitu mudah mengatakan pemikiran mereka. Pun apa yang mereka katakan sama sekali tidak memedulikan sekitar. Sementara dirinya harus berkutat dengan ribuan kata untuk nyaman melaksanakannya. Juga harus mempertimbangkan berbagai perasaan yang ada selain miliknya.

Tekanan yang berat untuk masa transisi seperti ini. Apalagi seharusnya ia memiliki kecakapan itu untuk mempersiapkan diri memasuki dunia baru; perkuliahan. Dengan demikian, terkadang ia merasa sudah mengetahui bagaimana kehidupannya setelah ini.

Pastinya sama-sama suram nan kelam.

'Ayolah. Berpikiran positif lah untuk saat ini—'

Otaknya menyugesti Hati untuk berhenti menyebarkan racun seperti itu. Bagian yang sering terbengkalai itu tentu saja merasa akan dirugikan oleh kekuasaan Hati yang sewenang-wenang dalam memengaruhi tubuh yang mereka tempati bersama.

Dan seketika lelah menghantam tubuh ringkih itu. Ternyata, hal seperti ini membuatnya merasa jenuh. Ia membutuhkan istirahat sementara. Membutuhkan sesuatu lebih daripada sekadar tidur saja.

Bagaimana kalau dirinya mencoba tertidur selamanya?

.

Pancor, 17 November 2018

[Completed] (Now)vemberWhere stories live. Discover now