L

6 1 0
                                    

Laura berjalan menyusuri koridor sekolah dengan langkah gontai. Sejak hari itu, tidak ada lagi Laura yang masuk kelas dengan perasaan kesal atau tawa yang menghias. Laura yang sekarang adalah Laura yang masuk kelas dengan menundukkan kepala, dengan wajah murung, seolah otot-otot di wajahnya bermasalah.

Ya, hari ini genap sebulan sejak hari itu. Laura benar-benar menyesal, harusnya dia tidak bertanya hari itu. Harusnya dia bisa mengendalikan perasaannya dengan logika yang ada. Dan sekarang hanya tertinggal andai dan seharusnya.

Baik Laura maupun Gara tidak ada yang berhubungan satu sama lain. Jangankan langsung, melalui ponsel pun tak pernah keduanya lakukan. Laura takut Gara marah, Gara pun begitu. Laura takut chat darinya mengganggu Gara yang tengah sibuk di rundung tugas sebagai ketua kelas sekaligus ketua pameran seni sekolah. Sedangkan Gara pun begitu, dia takut datang ke rumah Laura dan hanya mengganggu jadwal tidur siang gadis itu seperti yang sudah-sudah.

Harusnya rasa takut itu tidak ada. Harusnya mereka bersikap seperti biasa. Harusnya begitu. Namun entah kenapa keadaan dan waktu merubah keduanya.

Di sekolah pun mereka jarang bertemu, biasanya jika mereka berdua lewat di tempat ramai, ada saja siswa yang berkata 'Dimana ada Laura disitu ada Gara'. Namun sekarang itu tidak berlaku lagi. Bahkan satu sekolah mengira hubungan mereka sudah berakhir. Tapi tidak seperti itu kenyataannya.

Gara sibuk bolak-balik ke ruang guru, ruang OSIS, ruang kepala sekolah, dan berkeliling perusahaan di kota mereka untuk menyerahkan segala macam proposal dan surat-surat yang sebagian tidak Laura mengerti. Bahkan untuk menoleh ke arahnya pun sepertinya Gara tidak sempat.

Sedangkan Laura, gadis itu sibuk mencari kesibukan untuk sejenak melupakan Gara yang selalu menghias benaknya, berlari kesana kemari di pikirannya. Segala yang dia lakukan jadi teringat Gara.

"Mau sampai kapan kayak gini, Ra?" suara bariton itu membuat Laura mendongak.

Ya, sebulan terakhir ini juga Valen selalu berusaha ada di sampingnya. Segala cara lelaki itu lakukan agar Laura tersenyum namun senyum yang tercetak hanyalah senyuman hampa dan senyuman kekecewaan. Valen bukan Gara dan Valen tidak akan pernah bisa jadi seperti Gara.

Laura hanya tersenyum sekilas kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kelas, segera duduk di bangkunya, melipat tangan di atas meja, dan menenggelamkan wajahnya.

Valen ikut duduk di bangku Aya memandangi wajah Laura dari samping. Lelaki itu tidak bisa menyembunyikan senyumannya, rasanya bahagia bisa sedekat ini dengan orang yang dia cinta. Walau Valen tahu, hati Laura masih untuk Gara.

"Nggak bosen, Ra, cemberut terus?" tanya Valen yang membuat gadis itu mendongak.

"Nggak kok, nih gue senyum" ucap Laura sambil tersenyum.

"Assalamualaikum" dan suara itu berhasil membuat senyum Laura menghilang berganti tatapan sendu.

Gara berdiri di ambang pintu bersama seorang siswi, Lia, sekretaris pameran seni yang secara langsung berhubungan kuat dengan Gara.

Seluruh pasang mata di kelas Laura menoleh ke arah Gara dan Laura bergantian. Bertanya-tanya kenapa mereka berdua jarang sekali terlihat bersama akhir-akhir ini.

"Ehm, menjawab salam itu hukumnya wajib" ucap Lia membuat seisi kelas kompak menjawab salam mereka.

Mereka berdua berjalan masuk dan tunggu.. Laura tidak salah lihat kan? Gadis itu, iya Lia, dia merangkul lengan Gara? Laura benar-benar tidak salah lihat kan? Ini sungguhan kan?

Laura menoleh ke arah Valen dan Valen pun menoleh ke arahnya. Seolah tatapan mereka melempar tanya, setelah beberapa detik kembali menatap ke depan.

Alinra Dan Manusia Pluto Pengendali Pasir |COMPLETE|Where stories live. Discover now