Z

6 1 0
                                    

Laura tengah berkutat dengan kertas-kertas dan pulpen, sesekali memijat pelipisnya. Jika menurut kalian menjadi psikologi itu mudah kalian salah. Nyatanya menjadi psikologi itu harus siap mental dan fisik. Bukan hanya duduk menunggu pasien bercerita. Iya kalau masalah yang dialami pasien hanya satu, lah kalau banyak dan berkepanjangan gimana?

Padahal hanya satu kertas lagi yang harus ia torehkan pena. Tapi rasanya kepalanya pening.

Konsentrasinya terpecahkan dengan deringan ponsel. Laura berdecak sebal, mengambil ponselnya dan melihat siapa yang meneleponnya.

Wajah Laura seketika berubah ketika melihat siapa yang meneleponnya.

"Ngapain sih nih anak nelpon lagi?! Beban tau nggak?!" ucap Laura segera mengangkat panggilan tersebut.

"Halo Alin, apa kabar?"

"Ck, Gar, please. Kan gue udah bilang sama lo, jangan hubungi gue lagi. Bantu gue, Ger, gue mohon" ucap Laura penuh getar.

"Iya iya, maaf, kan kata lo, gue boleh nelpon kalo penting"

"Yaudah penting nggak?!"

"Jangan marah dong, Lin"

"Udah deh buruan! Kalo nggak gue tutup nih telponnya!"

"Iya iya, ngegas mulu mbak. Lo lagi sibuk nggak?"

"Banget!"

"Weekend ini bisa kesini nggak?"

"Nggak ada waktu!"

"Kok gitu sih, Lin. Kan ini penting"

"Apa coba pentingnya?!"

"Yah nanti aja lo kesini baru gue kasih tau"

"Kalo gitu gue nggak mau dateng!"

"Pokoknya weekend lo harus kesini, harus naik kereta, gue tunggu di stasiun jam lima sore. Nggak ada tapi-tapian dan penolakan, titik."

"Lo gila ya-"

Laura berdecak sebal ketika panggilan langsung diputus.

Gadis itu mengacak rambutnya frustrasi. Belum juga laporan ini selesai udah nambah satu masalah lagi aja. Lagian itu anak seenak jidat main ngambil keputusan gitu aja! Dia nggak tau apa kalo Laura tuh lagi sibuk banget sekarang?! Dia sih enak, tinggal nunggu panggilan tugas doang, lah dia?, itu yang ada di pikiran Laura.

Seketika sumpah serapah pun keluar dari mulut Laura. Mulai dari keputusannya masuk psikologi, pihak rumah sakit, Gara, bahkan sampai lantai yang tak berdosa pun di salahkan.

ZZZ

Namun bagaimana pun juga Laura tetap menuruti perkataan Gara. Kan kata Gara penting, ucapnya dalam hati.

Dan jadilah sekarang ia seperti orang gila di stasiun sendirian, Laura memutar bola mata jengah, sekali lagi melirik jam di tangannya.

Ini sudah hampir pukul enam sore dan Gara belum juga datang? Katanya jam lima lelaki itu sudah menunggunya, kok sekarang ngaret? Baiklah, gadis itu akan menunggu lima belas menit lagi, jika pukul enam tepat Gara belum datang juga dia akan langsung pulang.

Namun tetap saja Laura khawatir, sejak tadi pikiran buruk menyerang kepalanya. Se-enggak warasnya Gara masih nggak waras lagi orang yang nggak punya rasa peduli sama sekali.

"Alin" suara itu membuat rasa khawatir Laura menguap berganti dengan rasa kesal.

Laura segera berbalik, berniat melangkah namun urung. Tubuhnya menegang, beberapa kali mengerjapkan mata. Laura menggigit bibir bawahnya, air mata sudah menebal di pelupuk matanya. Cepat-cepat ia mengusapnya ketika lelaki itu semakin mendekat.

Alinra Dan Manusia Pluto Pengendali Pasir |COMPLETE|Onde histórias criam vida. Descubra agora