P

7 1 0
                                    

Laura memainkan kakinya, gadis itu terus melihat ke arah sepatunya yang agak basah terkena air hujan. Tangannya sibuk mengusap kedua bahunya. Angin berhembus membuat dingin semakin menusuk kulitnya.

Dia tidak bisa meminta Valen menjemputnya hari ini. Jangankan untuk menjemputnya, masuk sekolah saja tidak. Ya, Valen tidak sekolah hari ini katanya sih sakit. Laura niatnya mau menjenguk tapi dia sendiri tidak tahu rumah Valen dimana.

Laura menghela napas pelan, dia menyesal menuruti Aya untuk menemani gadis itu di sekolah hingga sore. Tidak banyak yang mereka berdua lakukan hanya menonton film sambil sesekali bercerita di kelas. Namun sepertinya nasib sial sedang jatuh kepadanya, saat ingin pulang Aya sudah di jemput kakaknya dan meninggalkan dia sendirian.

Dan kenapa sore ini harus hujan? Kenapa tidak tunggu Laura pulang dulu baru hujan? Kenapa juga angkot tidak ada yang lewat sekalinya lewat pasti penuh? Jadilah Laura duduk di bangku depan sebuah toko yang sedang tutup.

Laura kembali menghela napas pelan. Udara terasa sangat dingin menusuk tulangnya, padahal tadi pagi cerah dan baik-baik saja.

Cuaca itu mirip takdir, susah di tebak.

Laura menatap kosong jalanan, berharap ada satu angkot yang lewat. Hujan begini rasanya dia ingin segera pulang menemui kasur kesayangannya, atau segera berlari ke dapur memasak mie instan yang pastinya memuaskan perut itu. Ah, Laura jadi memegangi perutnya yang terasa kosong.

Kursi kayu yang Laura duduki bergetar, bertanda ada seorang lagi yang duduk di samping Laura. Gadis itu menoleh dan mendapati orang yang ingin ia lupakan keberadaannya selama ini.

"Nggak dingin?" tanya orang itu.

Laura hanya diam, dadanya kembali sesak, dingin yang semula menusuk tulang kini lebih terasa menusuk hatinya. Kenapa orang ini muncul lagi sih?

"Lin, ditanyain kok diem aja?"

Laura masih enggan menjawab. Membuat orang yang duduk di sebelahnya menghela napas pelan dan membuka tasnya, mengeluarkan jaket yang cukup tebal dan pastinya sedikit kebesaran bila di pasang di tubuh Laura. Kemudian kembali menutup tasnya.

"Gue baru inget kalo kita udah masing-masing. Tapi apa dengan berakhirnya hubungan kita juga berarti berakhirnya pertemanan kita?"

Laura masih tetap diam. Mencerna setiap kalimat yang di lontarkan orang itu.

"Bukannya lo duluan yang mulai?," akhirnya gadis itu mengeluarkan suara.

Gara tersenyum tipis membuat hati Laura kembali tertusuk. Kalau boleh jujur dia sangat amat rindu Gara.

"Akhirnya, gue kira karena lo deket sama Valen jadi ketularan dingin ternyata masih normal"

"Gue lagi nggak ngomongin Valen!"

Gara terkekeh pelan. Bisakah lelaki itu berhenti menancapkan paku di hati Laura?

"Gue mulai apaan?"

"Mutusin hubungan pertemanan kita"

Gara menggeleng. "Gue nggak pernah ngelakuin itu kok"

"Kalo emang nggak pernah, kenapa selama ini lo ngejauhin gue?"

Alinra Dan Manusia Pluto Pengendali Pasir |COMPLETE|Where stories live. Discover now