X

8 1 0
                                    

Laura terdiam. Kalimat yang di lontarkan Gara seolah menampar keras hatinya. Apa ia sudah cukup sabar? Apa dia akan menemukan orang yang lebih baik dari Gara? Orang yang dengan sempurna bisa menggantikan posisi Gara di hidupnya.

Pertanyaan itu menyerang kepala Laura. Rasa bahagia yang semula tumbuh kini kembali gugur. Laura menundukkan kepalanya. Mungkin ini saatnya meminta kejelasan langkahnya yang akan datang. Sudah cukup ia bertahan di posisi antara pergi dan teruskan. Perasaannya butuh jawaban.

Laura mendongak, pandangannya bertabrakan dengan Gara, terkunci beberapa saat.

"Gar, maaf" ucap Laura segera mendekap erat tubuh Gara.

Gara yang melihat itu jadi bingung sendiri namun sedetik kemudian ia balas memeluk Laura. Menaruh kepalanya di atas kepala Laura.

"Maaf" lirih Laura.

"Lo nggak salah kok, buat apa minta maaf?"

"Maaf karena hari itu gue udah salah ambil langkah. Maaf, hari itu gue terlalu kebawa emosi. Maaf, gue udah ngakhirin hubungan kita. Gue nyesel, Gar. Hari ini, gue akan jujur tentang semua yang gue rasain sama lo.

"Lo tau Gar? Waktu lima tahun nggak pernah sedikit pun ngikis lo dari pikiran gue. Waktu lima tahun nggak cukup buat ngilangin rasa ini. Gue nggak tau lo make dukun mana, tapi ini bener-bener manjur.

"Lo, selalu lo dan lo yang ada di pikiran gue. Bahkan saat gue sendiri sekalipun gue tetep ngerasa kalo lo ada di deket gue. Gue selalu ngutuk diri gue sendiri karena udah buat kebahagiaan gue sendiri ilang.

"Andai dulu itu nggak terjadi, kita nggak akan kayak gini. Kita pasti terus sama-sama. Tapi kenapa hari itu gue merasa paling benar dan paling tersiksa? Gue nggak mikirin saat itu mata lo menunjukkan apa, gue nggak peduli sama penjelasan yang pengen lo kasih.

"Gar, kalo gue boleh minta. Tolong, balik lagi ke hidup gue. Balikin lagi kebahagiaan gue yang sempet pudar. Kita mulai lagi semua dari awal. Gue capek di posisi pergi atau lanjut, dan sekarang gue butuh jawabannya. Lo mau kan, Ger, balik lagi sama gue?"

Laura melepaskan pelukan. Mengusap pipinya yang basah. Tatapan Gara yang semula hangat berubah menjadi datar. Laura jadi takut mendengar jawabannya.

"Sorry, Lin. Kita mungkin bisa mulai lagi semuanya dari awal tapi rasanya nggak akan pernah sama kayak dulu. Lagian, hati gue masih ada di orang yang sama. Orang yang terakhir kali gue perjuangin"

Apa Gara masih membahas orang itu? Orang yang hari itu Gara sedang jaga hatinya? Hati Laura berdenyut sakit tetapi gadis itu berusaha tersenyum.

"Apa lo masih nunggu dia sekarang?"

"Ya dan gue nggak mau buat dia kecewa"

"Apa lo yakin dia bakal berhenti lari dan berbalik ke arah lo?"

"Ya, gue sangat yakin itu terjadi dan sekarang itu udah terwujud"

"Jadi lo udah punya pacar?"

"Belum sih, gue belum nyatain soalnya"

"Kalo gitu, gue bisa apa? Gue bakal mundur, gue akan selalu doain yang terbaik buat lo"

Gara mengangguk. "Makasih, lo udah ngasih pengalaman berharga buat gue. Lo udah ngasih tau rasanya jatuh ke dalam lubang yang gelap. Makasih juga udah pernah jadi cahaya terang buat gue. Gue selaku temannya Naruto yang baik hati sangat berterima kasih sama lo"

Laura tersenyum tipis. Cinta benar-benar membuatnya gila, bukankah beberapa menit yang lalu dia tertawa bahagia karena berhasil menemukan obat rindunya? Dan sekarang ia kembali ke lubang gelap itu. Kembali sendiri dan kesepian.

Mungkin ini sudah jalan-Nya. Tuhan ingin dia istirahat dari cinta yang salah maka dari itu Tuhan patahkan hatinya. Tapi haruskah dia merasakan sakit ini untuk kedua kalinya? Kali ini Gara yang melakukannya bukan lagi hal konyol itu.

Laura menghela napas. Dia harus bisa bahagia tanpa Gara. Tapi bukankah itu juga yang dikatakannya lima tahun terakhir? Dan kenyataannya sampai sekarang bahagianya masih Gara.

Kalau begitu Laura harus berjuang lebih keras lagi untuk membunuh rasa ini, lebih serius lagi menikam rasa ini. Lebih kuat lagi menenggelamkannya.

Laura tersenyum memandang Gara. "Makasih buat jawabannya, sekarang gue tau harus kemana gue langkahkan kaki. Seperti kata lo tadi, gue akan nemu yang lebih baik dari lo"

Gara mengangguk. "Syukur deh kalo lo optimis gitu. Gue jadi lega"

Laura mengangguk, melirik jam tangannya. "Ikut gue yuk, gue mau ngasih lo kejutan"

"Kejutan tapi udah di kasih tau duluan"

"Yang penting lo nggak tau apa yang bakal gue kasih. Udah ayo"

Gara mengangguk segera bangkit dari tempatnya dan menyambar kunci motor.

"Naik motor aja nggak papa kan?"

"Iya, nggak papa, kayak apaan aja"

"Lo kesini naik apa?"

"Mobil"

"Angkot? Atau bis?"

"Pribadi"

"Oh, udah jadi psikolog banyak perubahan yah"

"Gue masih yang dulu kali"

"Enggak-enggak, lo udah banyak berubah. Makin dewasa"

"Kalo itu harus, malu dong sama umur"

Mereka berjalan menuruni anak tangga. Gara mengeluarkan motornya dari garasi sedangkan Laura sedang sibuk mengunci pintu rumah Gara.

"Udah belum? Ayo berangkat" ucap Gara yang sudah siap dengan motor hitam besarnya.

"Iya sebentar" Laura buru-buru mendekat dan memberikan kunci rumah pada Gara. Segera naik ke atas motor.

Gara memberikan helm. "Banyak razia sekarang. Gue nggak pengen bayi baru gue masuk polisi"

Laura berdecak sebal, segera memakai helm dan memegang ujung baju Gara ketika motor sudah melaju.

"Kalo mau meluk nggak usah tanggung-tanggung" ucap Gara yang berhasil membuat rona di pipi Laura.

"Ini kita mau kemana sih?" tanya Gara lagi.

"Udah ikutin aja deh, banyak tanya"

"Lo udah tau Bekasi?"

"Bekasi doang, sekarang tuh teknologi udah canggih, manfaatin dengan baik dong"

"Iya deh iya"

Motor Gara berhenti di depan sebuah cafe.

"Oh, sekarang mah mainnya yang mahal gitu ya? Nggak pengen lagi di emperan" ucap Gara sambil melepas helmnya.

"Nggak gitu, Gar. Sekali-kali makan enak napa, ngemper mulu" ucap Laura sambil terus berusaha membuka helmnya. "Bantuin ngapa? Susah ini"

XXX

HOLA HOLA SEMUA! BERHUBUNG AUTHOR TODAY IS SICK, DAN GABUT DI HOME ALONE, SO AUTHOR UPDATE DEH

SEMOGA MAKIN SUKA YA AMA CERITANYA

KALO BANYAK YANG SUKA, NANTI AUTHOR BIKIN SEQUELNYA DEH, MAU GA MAU GA?

Alinra Dan Manusia Pluto Pengendali Pasir |COMPLETE|Where stories live. Discover now