4. Bima

8.9K 1.1K 78
                                    

Sewaktu memilih universitas, aku tidak ambil pusing masalah pilihan kampus dan jurusan. Aku hanya mengikuti alur dalam hidup ini. Alurku yang selalu mengikuti kemana Langit pergi. Gampang saja. Apa yang Langit pilih, aku pilih. Sialnya, Langit memilih jurusan Ilmu Komputer, ketika aku terjun memelajari mata kuliahnya, otakku kejang-kejang lantaran dipaksa berpikir melibihi kapasitasnya dan kini dia hampir tidak berfungsi! Ya ampun! Susah banget! 

"Kalau bego jangan nyeret-nyeret gue, kek!" rutuk Nanang, sahabat boleh nemu di got, ketika kami mengerjakan soal Kecerdasan Buatan yang nggak juga mencerdaskan justru menyusahkan. 

"Lah, elo mah emang udah bego dari lahir kali, Nang. Masih mending gue masih ada semangat untuk menyelesaikan soal yang memakai bahasa jin ini!" 

"Lima menit pertama lo mikir setelahnya lo main game, Ijah!"

"Lah, kan main game-nya juga ama lo, Bambang!" 

"Ya emang kalian duo bego," sahut suara berat yang entah muncul dari mana. Tiba-tiba saja Koko, adikku, duduk di atas sofa ruang tengah. 

Aku dan Nanang sedang berusaha menyelesaikan game, maksudnya tugas. Tapi sudah sejak tiga jam yang lalu lembar jawaban kami masih polos tak noda. Suci belum terjamah tinta. Sama kosongnya dengan otak Nanang. 

"Nah ini ada adik lo, Mi. Adik lo aja yang ngerjain, nih. Apalagi dia kuliah di kampus teknik, kan? Beginian mah udah jadi makanan sehari-hari kali," celetuk Nanang yang dihadiahi lemparan kacang goreng dari Koko. 

"Gue? Minta bantuan dia? Ewwhh. Sori sori stroberi, ya! Ogah banget! Yang ada dia makin besar kepala dan minta yang aneh-aneh yang bisa menjatuhkan harga diri gue!" tolakku mentah-mentah. 

"Yailah, singkirkan harga diri lo sesaat demi nilai lo, Mi. Nilai lo masa depan lo." Nanang nyengir tanpa dosa. 

Kini Koko sedang tiduran santai di sofa, memainkan ponsel  sambil mengunyah kacang goreng. 

"Big no, Nanang!" teriakku kesal. 

Koko yang dari tadi kita bicarakan tetap tidak peduli. Dia memang orang yang sangat cuek. Jangan ditiru. 

Sepuluh menit berlalu, kami tetap tidak bisa menemukan jawabannya. Nanang sudah seperti anak kecil yang nggak tahan BAB. Mukanya merah frustasi. Tersisa satu jam lagi sebelum batas akhir pengumpulan tugas melalui email

"Ko! Lo mau makan apa? Gue beliin. Asal tugas gue kelar!" Ya ampun! Nanang sudah menggadaikan harga dirinya! 

"Bagus!" Koko loncat ke arah Nanang. Mengambil kertas, pulpen, dan laptopnya. "Gue pengen makan pizza, donat, baso Mang Supri, gado-gado Bu Nani. Minumnya tolong beliin Chatime rasa green tea topingnya puding." 

"Laksanakan!" Nanang sudah ngacir lebih dulu sebelum aku sempat bicara. 

Aku melotot kesal. Ini anak mau menjajah Nanang yang terlahir kere apa gimana, sih?! Kupukul tangan Koko sebal. "Kayak perut lo bisa ngabisin semuanya!"  

"Bisa, dong! Kan buat stok nanti malam mau begadang nonton Champion," jawabnya enteng. 

Ergh! Kalau begini caranya aku jadi tergoda, kan? Baiklah, singkirkan dulu harga diri seorang kakak yang amat berharga ini. 

"Nih, sekalian punya gue juga," ucapku jual mahal. 

Koko tertawa lebar sampai ujung telinganya berwarna merah. Ya ampun, bahagia sekali dia melihatku begini. 

"Makanya nggak usah sok-sokan, lo!" Koko mengacak-acak rambutku. 

"Diam gak!" Kutepis kasar tangan Koko. 

ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang