16. Perselisihan

5.1K 886 290
                                    

"Mi? Lo nyariin siapa?" tanya Oki, salah satu teman kelas gue yang gue ingat namanya, ketika gue sedang mengintin pintu Lab.Komputer. 

"E--Eh... I--itu..." Gue gelagapan. 

"Bang Bima?" tebaknya. 

Yah, ketahuan, deh. Gue mengangguk. 

"Setahu gue Bang Bima nggak masuk-masuk dari seminggu yang lalu, deh. Sekarang juga dia lagi nggak ke kampus, kan? Ini gue mau ngumpulin tugas ke mejanya dia." 

"O--oh... Kenapa nggak masuknya?" 

"Loh, gue nggak tahu. Lo, kan, ceweknya. Lo yang lebih tahu dong harusnya?" Oki mengerutkan kening bingung. 

Aduh, keceplosan! Kok gue oon banget ya? Kenapa gue nggak kepikiran sampai sana, sih? Jelas aja Oki bingung, secara masyarakat sefakultas tau gue pacarnya Bima. 

"Eum... Biasa deh, pesan gue nggak dibalas. Makanya gue ke sini." 

"Ohhh, lagi berantem, ya?" tebaknya. 

"Iya, hehe. Ya udah, makasih ya, Ki." 

Gue buru-buru menjauh dari sana sebelum Oki makin curiga apa-apa. 

Ini bukan gue banget! Nyariin seseorang padahal nggak ada kepentingan mendesak. Seminggu lebih Bima menghilang gitu aja. WA ceklis satu, sampai gue harus memutuskan urat malu untuk menelpon dia lebih dulu. Oke, urat malu gue emang udah lama putus, sih. Semuanya percuma. Si variabel x lenyap ditelan bumi. 

Malam harinya, gue memutuskan untuk menelpon dia lagi. Walaupun di satu sisi gue berharap nggak diangkat. Soalnya, gimana kalau dia nanya, "Ada apa nelpon?" gue harus jawab apa dong? Gue belum butuh perannya dia untuk membuat Langit cemburu, gue belum butuh peran dia untuk nemenin gue. Terus ngapain juga gue nyariin, ya? Oh ya, gue sepik-sepik nanya tugasnya dia aja. 

Gue makin nggak paham sama diri gue sendiri. Gue cuma... nggak tahu deh! Anggap aja gue ini produser yang takut aktornya kabur dari syuting.

Percuma. Nomor teleponnya nggak aktif. Ya udah lah, ya. Gue juga nggak butuh-butuh amat keberadaannya si nyebelin satu itu. Bahu gue mengedik. 

"Kakak ngapain?" Alka yang sedang menatap laptopnya, menengok ke arah gue mondar-mandir. 

"Nggak ngapa-ngapain." Gue menggeleng. "Lo lagi ngapain?" tanya gue mengalihkan pembicaraannya. 

"Nonton Youtube." Dia tersenyum ke arah layar yang sedang memutar video vlog seorang cowok yang rada pecicilan.

"Dia temen lo itu ya? Yang jadi vlogger dan kuliah di Jepang?" Gue mengingat-ingat. Setahu gue, Alka pernah satu-dua kali bercerita tentang temannya ini. 

Adik gue mengangguk, tersenyum menatap cowok berambut lurus dengan tampang baik-baik itu. 

"Ngapa lo senyum-senyum?" Telunjuk gue mengarah tepat ke hidungnya. Wajah adik gue merah padam. 

"Enggak apa-apa, kok!" sergahnya menutup muka. 

"Lo suka ama dia?" Kali ini telunjuk gue mengarah ke layar laptop. 

Adik gue makin bersemu. "Dia... baik, Kak." 

"Ya, ya. Gue tahu, kok. Dia sering muncul di explore Instagram gue. Jago main alat musik, kan?"

Alka mengangguk, "Dia pinter banget di bidang matematika, sering ikut olimpiade. Sering banget bantuin aku."

"Bukannya dia lagi di Indonesia, ya?" 

Alka mengangguk lagi, "Iya, dia di Malang. Lagi sama teman-temannya yang dari Jepang." 

"Lo nggak mau nyamperin dia?" Gue menatap adik gue. Ada sorot sarat sendu berkumpul di sana. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now