Special Ending 4 (Us)

13.2K 1.2K 600
                                    

=====Chapter ini panjang, gue harap kalian baca baik-baik. Bacanya setelah buka atau sebelum sahur, ya. Hehehehe. -Army=====

"Karena lo takdir gue. Sesederhana itu 'kan?" Bima menyimpulkan. 

Gue tertawa sumbang, menyentuh ujung mata dengan telunjuk. Sial. Ini orang paling bisa bikin hati gue jungkir balik. 

"Mine, gue bahagia lo di sini." Bima menyentuh puncak kepala gue. 

"Lo jahat banget nulis surat kayak gitu, Bim. Lo jahat banget menghilang tanpa kabar!" Gue tetap nggak terima. Enak aja, gue hampir gila nangis tanpa alasan yang jelas, sampai harus pergi ke dokter mata segala, padahal mata gue baik-baik aja. 

Bima tersenyum. "Ini juga nggak mudah buat gue." Dia menarik gue agar mendekat. "Gue nggak mungkin bertahan di situasi sesulit itu, Mine. Pergi adalah jalan satu-satunya. Tapi, ternyata gue salah. Tanpa lo, gue kehilangan diri gue sendiri. Dan itu yang terburuk sepanjang hidup gue."

Ini sulit, tetapi gue menahan diri supaya air mata ini nggak turun lagi. 

"Gue bertaruh satu persen kemungkinan dari sembilan puluh sembilan persen ketidakmungkinan pertemuan kita. Seperti yang lo bilang, hal ini hampir nggak mungkin. Tetapi, nyatanya kita bertemu. Gue berhasil memenangkan satu persen itu, Mine. Dan itu sangat melegakan buat gue sekarang." 

Gue menunduk, meremas selimut. 

"Gue... nggak bisa ngelepas lo lagi, Mine."

Sial, air mata gue jatuh juga. Gue memeluk Bima untuk menyembunyikannya. Tenggelam di dalam dadanya yang hangat, sangat membantu gue menenangkan diri. 

"Gue menyuruh lo untuk bergerak. Nyatanya, gue yang diam di tempat," ucap Bima. 

"Gue selalu berdoa, di mana pun seorang Bima Prabumi berada, gue harap dia baik-baik aja. Doa gue dikabulkan lebih dari itu."

"Gue nggak baik-baik aja, Mine. Nggak sebaik setelah gue ketemu lo," sambungnya. 

"Berarti lo sekarang baik-baik aja, kan?" Gue menegakkan tubuh agar bisa menatapnya. 

Bima mengangguk. "Jauh lebih baik." 

"Lo nggak akan ngilang dan jadi makhluk gaib lagi 'kan?"  

Dia menggeleng, tersenyum mengelus pipi gue. 

Gue bisa memasang perasaan lega sekarang. Telapak tangan gue menyentuh dahinya. Panasnya turun. 

"Mine, gue mau mandi..." katanya. 

"Lo nggak minta gue buat mandiin lo, kan?" Gue menggoda. 

"Kalau lo belum mandi, gue nggak keberatan kita mandi berdua." 

Gue memasang aba-aba ingin menonjoknya. Dia tergelak. "Tolong siapin air hangat, Mine. Gue mau mandi pakai air hangat."

"Oke, gue siapin dulu, ya." Gue baru saja hendak melangkah saat tangan Bima memegang lengan gue. 

"Makasih, ya, Mine." 

Gue mengangguk, "Makasihnya kalau demam lo udah benar-benar turun." 

********

Stok baju bersih di tas gue ludes. So, hari ini gue mencuci semua baju yang gue bawa di ransel. Eh, jiwa pembantu gue memuncak lagi ketika melihat pakaian kotornya Bima menumpuk di bak kotor. Yaudah, deh. Sekalian. 

Coba lihat, pembantu mana yang mau nyuciin daleman majikannya? Bima harus menggaji gue setinggi mungkin setelah ini.

"Lo ngapain nyuciin CD gue?" Bima keluar kamar dengan membungkus dirinya pakai selimut. Melongok ke kamar mandi. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now