8. Mr. Arrogant

5.6K 744 104
                                    

Pintu kamar gue diketuk dari luar saat gue lagi asik-asiknya menonton serial Netflix di laptop. 

"Kenapa?" tanya gue berteriak dari dalam. 

"Langit nyariin lo." Suara dari luar menjawab.  

What!

Bisa gue rasakan denyut jantung yang berdetak jauh lebih cepat seperti roller coaster. Sumpah. Gue belum siap kalau harus bertemu Langit sekarang. 

"Bilang aja gue lagi sakit, nggak boleh keluar kamar. Nanti ketularan," kata gue. 

Daun pintu terbuka, Koko muncul dengan wajah polos sembari melirik ke arah orang yang ada di sampingnya. 

Langit muncul dari balik tubuh tinggi adik gue. 

"Mi..." Suaranya sangat melas dan berhasil meruntuhkan pertahanan gue untuk nggak bertemu dia. 

Mau nggak mau, gue beranjak dari kasur, menghampirinya. 

"Ada apaan?" tanya gue membuang muka jauh-jauh. Jangan. Jangan menatap matanya. 

"Gue mau ngomong sama lo sebentar," kata dia penuh nada permohonan. 

"Mau ngomong apaan? Di sini aja buruan. Gue lagi sibuk," tukas gue. 

"Nggak bisa, Mi. Nggak bisa di sini," katanya. 

Koko yang sadar jadi penganggu, langsung menjauhi kami dan masuk ke kamarnya. Gue menggiring Langit duduk di ruang tamu. Kebetulan rumah sepi karena orang tua gue lagi keluar kota. Gue nggak bisa ngebayangin gimana kalau ada mereka, pasti Bunda bakal nyuruh Langit buat makan malam bersama kami dan Ayah akan mengajak Langit ngobrol bareng. Hell, no! Bisa-bisa gue luluh lagi nanti.

"Buruan ngomong." Gue duduk bersebrangan dengannya. Ada meja yang cukup besar di antara kami. 

Langit tampak tersenyum sendu, ada lingkaran hitam di bawah matanya. Mendung. Kata itu bisa gue gambarkan ketika melihat kondisinya sekarang. 

"Sebelumnya gue mau minta maaf udah..." 

Gue segera memotong, "Ya, ya, ya. Kalau masalah itu udah gue maafin, jadi gue nggak mau bahas lagi." 

Untuk kali ini dan seterusnya, gue nggak mau ngungkit kenyataan yang terjadi antara gue dan Langit. Selain berpotensi bikin luka di hati gue yang belum sembuh ini makin perih, gue juga nggak mau terus-terusan larut dalam kesedihan dan diam di tempat. 

"Kalau gitu... kita bisa kayak dulu lagi, kan?" katanya. 

"Maksud, lo?" 

"Kita yang kayak biasa. Main bareng, ngerjain tugas bareng. Gue tetap bisa bantuin lo di mata kuliah, lo juga bisa nemenin gue ke sana kemari." 

Kepala gue menggeleng pelan lantas mengangkat bahu. Sebenarnya gue bisa, kok, kembali berteman dengan Langit dan Bulan. Tapi gue butuh waktu. Dan bukan sekarang.

"Gue nggak tahu, Lang... Ada beberapa hal yang nggak bisa dipaksakan. Sama kayak perasaan lo yang nggak bisa dipaksa untuk membalas perasaan gue, karena lo hanya bisa menyayangi Bulan." Tenggorakan gue mendadak sakit, terasa menyempit. 

Langit memandang gue nanar. Seakan pandangan itu tertuju pada seseorang yang akan meninggalkan separuh hidupnya. Ingin rasanya gue memeluk Langit, tapi ia dan hatinya terlalu tinggi bahkan untuk sekadar gue gapai. Semakin tinggi usaha gue meraih Langit, gue akan terjatuh pada akhirnya. Jatuhnya semakin sakit. Dan malam itu bikin gue sadar, Langit emang hanya untuk gue pandangi. Bukan gue genggam. 

"Bulan akan ke Indonesia minggu depan, Mi. Gue harap lo ikut ke bandara menyambut kedatangan dia. Lo dan gue, sebagai sahabatnya." 

Senyum gue terukir miris. "Jadi lo ke sini bermaksud mengajak gue untuk menjemput Bulan?" 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now