32. Titik Nadir

5.1K 1K 266
                                    

Rentetan panggilan dari Bima diabaikan gadis itu sejak seminggu yang lalu. Lebih dari sepuluh pesan dan dua puluh panggilan dibiarkannya begitu saja, tanpa jawaban, tanpa ada niat sedikit pun menggubris. 

"Telepon lo bunyi mulu, tuh. Budek apa? Kuping gue sampe pengang, nih," gerutu Koko yang sedang membaca buku di ruang tamu. 

Army bersungut-sungut menyambar ponselnya yang tergeletak di meja, lalu menonaktifkan ponsel tersebut agar diam. Dia kembali menonton siaran televisi di channel kesukaannya di ruang tamu, sementara Koko tenggelam dalam tulisan yang ia baca. 

Baru saja tenang, bel rumah berbunyi menganggu lebih dari sekali. Army melirik Koko, adik lelakinya itu tampak tidak peduli dan terus membolak-balikkan halaman buku. 

"Bukain sana, budek apa?" tukas Army kesal meniru gaya Koko. 

"Lo aja," jawabnya datar. 

"Bukain nggak," perintah Army mutlak. "Kalau itu Bima, bilang ke dia gue nggak ada. Buruan."

Koko melirik Army sengit, sebelum akhirnya menuruti perintah kakaknya disertai decakan. Begitu pintu dibuka, Koko melihat seorang cowok berkaus navy dengan celana denim berdiri menghadapnya. 

"Nyari siapa?" tanya Koko tanpa basa-basi. 

"Army ada?" 

"Ada, tuh. Tapi dia bilang, kalau lo nyariin dia, gue harus bilang nggak ada," jawab Koko mengedikkan bahu. 

Bima menjilat bibirnya. Dugaannya tepat, Army menghindarinya lagi tanpa alasan yang jelas. Kini ia harus memutar otak untuk berbicara kepada Army. 

"Eum... boleh panggilin sebentar nggak? Gue ada urusan sama dia," jelas Bima hati-hati. 

Koko mengangguk, "Tapi lo tunggu di luar aja, ya? Soalnya kakak gue lagi sedikit... badmood. Kalau lo nekat masuk, takutnya rumah gue berubah kayak kapal pecah." 

Bima menyunggingkan senyum, mengangguk maklum. Koko masuk lagi ke dalam rumah, menghampiri Army yang masih rebahan malas di sofa ruang tamu. 

"Kata Bima, dia ada urusan sama lo," ucap Koko tenang. 

"Kan udah gue bilang kalau gue nggak ada. Belum pernah kelilipan pisau daging, lo?" balas Army dingin memicingkan matanya ke arah Koko. 

Koko menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Biarpun dia seorang lelaki dan tak jarang semena-mena terhadap sang kakak, kalau gadis itu sedang dalam mode tempramen seperti sekarang, tidak akan ada yang bisa lolos dari aura mencekram yang menguar dari sekitar tubuhnya. 

"Oke, fine." Pada akhirnya, tetap Koko yang mengalah. 

Cowok itu kembali menghampiri Bima yang berdiri menyender di daun pintu. "Army tetap nggak mau ketemu lo. Bukan maksud ngusir, mending lo temuin dia kapan-kapan aja. Kalau setannya udah pergi." 

Bima melipat bibirnya, tak bisa membantah apalagi memaksakan keinginannya sendiri. Dengan berat hati, dia mengangguk, mengikuti saran Koko. 

"Oke, thanks," katanya pasrah. 

Ketika Bima hendak melangkah pergi, Koko berkata, "Kakak gue emang suka nggak jelas, tapi dia nggak mungkin kayak gini tanpa alasan. Kalau dia sampai nggak mau nemuin lo, artinya lo yang bikin dia kayak gitu."  

Pernyataan itu menusuk dada Bima, membuatnya bertanya-tanya apa yang telah ia lakukan sampai membuat Army sebegininya. Tanpa ia temukan jawabannya, Bima mengangguk, "Kayaknya iya. Makasih." 

Bima berlalu mengendarai motornya lalu hilang di balik pagar rumah, membawa segudang pertanyaan yang menggelayuti pundaknya. Tentang Army, tentang sikapnya yang tidak dapat Bima artikan, tentang isi hatinya yang tak pernah bisa Bima pahami. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now