Epilog

7.6K 952 232
                                    

2 Tahun Kemudian...

"Eh, lo tahu nggak? Bakal ada pembentukan tim kecil buat proyek aplikasi Dishub nanti." Nila menyikut lengan gue ketika kami duduk di pantry

Mata gue berputar jengah, "Gue harap gue nggak masuk ke tim itu."

Nila meneguk hapis kopinya, "Why?" 

"Karena gue susah bekerja sama dengan orang baru." 

Dia melotot, tapi sejurus kemudian mengangguk paham, "Ya, gue paham, sih. Waktu pertama lo masuk sini aja, lo bikin emosi nyaris semua divisi yang terlibat." 

Nah, 'kan. Gue harap Pak Bos nggak nekat jeblosin orang kayak gue buat masuk ke tim proyek besar itu. 

Proyek sistem Dinas Perhubungan ini mengintegrasikan seluruh kendaraan kota dalam satu aplikasi, secara otomatis nggak boleh ada miss sedikit pun. Permintaan sistem yang diajukan sangat rumit. Perusahaan gue memenangkan tender untuk membuat sistem ini. Tapi, nggak tahu atas alasan apa, proyek ini justru digarap bersama, bukan hanya perusahaan tempat gue bekerja, tapi ada perusahaan lain yang gue lupa namanya. Semacam kolaborasi perusahaan. 

Kami berdua keluar dari pantry begitu Pak Bos memanggil nama Nila. 

"Maaf, Pak. Saya di sini." Nila segera menghampiri Pak Bos. 

Gue kembali ke dalam kubikel kerja, meneruskan pekerjaan membuat desain maket sebuah web yang telah gue analisis karakter penggunanya. Memasang headset di kedua telinga, membongkar pasang berbagai elemen yang tergambar di layar, bermain warna dan memadukan tipe font, ternyata pekerjaan yang gue geluti sekarang semenyenangkan itu. 

Sekarang, gue bekerja di salah satu perusahaan penyedia jasa web yang cukup besar dan terkenal di Indonesia, sebagai staff  UX Designer. Kerjaan gue berhubungan dengan pengguna aplikasi, walaupun fokus kerja gue tetap di belakang meja, mendesain berdasarkan persona yang dibuat dan dianalisis oleh tim User Research. Kalau ada yang nggak gue suka dari pekerjaan ini, mungkin karena gue sering kena tipu Tim Front End saat gue mengajukan rancangan tampilan. Seringnya mereka bilang 'Ini ribet, butuh waktu lama kalau mau mirip', dan akhirnya rancangan mengalami kemunduran deadline. Dan gue yang kena omel Nila karena mau aja digoblokin sama mereka. Padahal, ngoding-nya nggak terlalu susah, tapi karena gue buta akan hal itu, gue cuma bisa pasrah. 

Nila adalah Kepala Divisi UX di sini. Umurnya lima tahun lebih tua dari gue. Dia seorang Ibu beranak dua. Biarpun Nila kadiv, ketika dia mengobrol atau berkumpul dengan timnya, kami tidak merasakan perbedaan itu. Bahkan, gue berani ngomong 'gue-elo' ke dia karena pembawaan dia yang santai banget. Apa karena guenya yang kelewat nggak sopan? Enggak, ah. Teman-teman yang lain juga gitu kok. 

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Pemandangan tenggelamnya matahari bisa gue saksikan langsung di depan mata. Meja gue berhadapan dengan jendela yang selalu menampilkan panorama indah pencakar langit. Ya, ini juga salah satu alasan gue suka pekerjaan ini, dapat spot meja kerja yang nggak mengecewakan. 

"Army! You have to know this." Nila setengah berlari menghampiri gue yang bersiap merapikan tas dan meja. 

"Gue nggak mau dengar apa pun." Sinyal-sinyal jelek berhasil gue tangkap dari raut wajah Nila. 

Bibirnya melengkung ke bawah, "Lo jadi tim UX sistem ini bareng gue, Valerie, dan timnya Pak Rajendra. Sorry..." 

"Hah?! Lo gila?! Bisa darah tinggi orang lain kerja bareng gue!" Nada gue naik satu oktaf. "Emang si Devi atau... Itu yang cowok siapa namanya... Wendi. Nah, mereka, ke mana?" 

"Pak Bos mintanya elo. Karena kerja lo akhir-akhir ini meningkat. Jadi, dia pengin lo yang terjun. Gue nggak bisa bantah, sorry..." Nila memegang tangan gue. 

ARMY (Completed)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora