36. Makna Keberadaan

5K 1K 192
                                    

Ini partnya panjang, banyak paragraf, tapi tolong baca baik2 ya. Ini perasaan gue(Army).

===========================

I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things

===========================

Pernahkah lo merasakan sakit yang terlalu, sampai-sampai lo nggak merasakan apa pun lagi? Lo nggak sedih, juga nggak senang, nggak marah, lo nggak tahu lo sedang merasakan apa. Kayak semacam... sudah mati. 

Sorry, mungkin kalian nggak bisa menangkap arti perkataan gue barusan. Cuma, inilah yang gue rasakan sekarang. 

Di meja makan, biasanya kami sekeluarga punya banyak cerita hangat. Terutama dari Bunda, Alka, atau gue kadang, dan sesekali Koko. Ayah jadi supporter kalem dengan senyum yang sedikit. Tapi, sekarang gue merasa cerita-cerita mereka hambar. Bahkan, gue jadi bertukar posisi dengan Ayah. Gue yang lebih banyak diam, senyum secukupnya, sementara Ayah jadi lebih banyak ambil pembicaraan. 

Gue, yang biasanya meninggalkan meja makan paling terakhir sebab harus menghabiskan lauk yang masih sisa di piring Alka, sekarang jadi yang paling pertama meninggalkan meja makan. Segera pergi ke kamar dan nggak akan keluar seharian. 

Gue sadar betul perubahan diri gue. Dan gue yakin keluarga gue juga menyadari apa yang berubah dari seorang sulung bernama Army Senarya Al Fatih. Apakah mereka komentar? No. Dan gue nggak butuh komentar, motivasi, apalagi pertanyaan mereka. 

Satu-satunya yang nggak pernah gue sadari sejak perubahan ini terjadi adalah... air mata yang suka turun tiba-tiba. Tanpa aba-aba. Tanpa permisi. Turun gitu aja. 

Seperti ketika gue terbangun pada jam tiga pagi beberapa hari lalu. Tanpa melepas mukena yang gue kenakan, gue pergi ke dapur mengambil minum. Melamun sebentar di sofa ruang tamu yang temaram dan sunyi. 

Tiba-tiba Koko keluar dari kamarnya, memakai sarung, rambutnya basah. 

"My, lo ngapain?" Dia mendekati gue. "Lo nangis lagi?" Koko menunduk, raut wajahnya prihatin. 

Gue memegang pipi. Shit! Pipi gue basah. 

Cobaan ini nggak berhenti sampai di situ. 

Terkadang, mata gue nggak bisa diajak kompromi. Nggak tahu tempat dan waktu. 

Pernah hal ini terjadi di tempat gue magang. 

Kami tengah membicarakan sebuah pembagian job buat gue dan Nanang yang dipimpin salah satu kepala divisi yang sekaligus menjadi pembimbing gue di kantor. Sedang serius menyimak atasan gue, beliau menghampiri gue di tengah rapat.

"Kamu nggak apa-apa? Ke toilet sana. Cuci muka." Beliau tidak marah, bahkan tersenyum. Senyum yang gue nggak tahu apa maknanya. 

Gue bingung. "Saya nggak apa-apa, Mbak. Saya nggak ngantuk, kok," sanggah gue karena nggak paham kenapa beliau nyuruh gue cuci muka. Ketika gue mengusap wajah, pipi gue terlanjur basah oleh sesuatu yang nggak gue sadari sebelumnya. Gue pun menuruti sarannya untuk pergi ke toilet. 

Semua orang khawatir sama gue. Tak terkecuali diri gue sendiri. 

Di rumah, di kantor, bahkan di tempat ramai kayak swalayan, air mata gue mengalir seenaknya. Seakan mereka nggak betah melembapkan lensa gue. Berebut keluar dari sana bak dikejar sesuatu mengerikan yang muncul dari dalam kepala gue. 

"Mata Anda baik-baik saja. Tidak terjadi kerusakan apa pun. Semuanya normal. Anda juga tidak memiliki kelainan mata seperti miopi, hipermetropi, ataupun silinder." Begitu kata dokter mata yang gue kunjungi hari ini. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now