22. Kedatangan Tamu

5.1K 891 170
                                    

-----------

Makasih yang udah vote sampai 350 wkwkw. Kaget bangun tidur udah dibanjiri komentar. Happy Reading :*

-----------

"Lo tahu? Seseorang pernah bilang ke gue, kalau jatuh cinta itu lebih cepat daripada gravitasi bumi." Bima mengoceh ketika kami tengah makan bakso di jajaran pedagang kaki lima depan kampus. 

 "Gue nggak percaya," bantah gue tegas. "Menurut gue, cinta itu tumbuh dari kebiasaan. Kalau lo merasakan sesuatu ke seseorang hanya karena sekali-dua kali lihat, itu bukan cinta. Dan itu nggak akan bertahan lama."

Dia nggak membantah argumen gue, "Berarti lo nggak percaya adanya love at the first sight?"

Jelas aja gue menggeleng, "No! That's bullshit! Mana ada cuma karena sekali lirik lo bisa mati-matian mau berkorban demi dia. Kalau sekadar suka sih mungkin iya. Tapi lebih dari itu, gue mempertanyakan kejelasannya." 

"Jadi, perasaan lo ke Langit itu apa?" Dia membelah baso uratnya, sedikit susah. 

Mata gue bergerak menyapu sekitar, "Eum... Cinta? Sayang? Bertahun-tahun gue ada di samping dia walaupun dia nggak mau tahu. Coba simpulin sendiri," sedikit jeda.  "Ah, nggak mau bahas Langit, ah! Ingatnya aja udah malas," jawab gue sembari menyeruput kuah panas bakso langsung dari mangkuknya. Ugh sedap betul. 

"Oke bahasa yang lain. Gue punya kabar baik." 

"Apa?" 

"Gue udah ke dosen pembimbing buat ngajuin jadwal sidang. Kalau udah di acc, gue ke TU, dan tinggal nunggu tanggalnya keluar." 

Mendengar itu, senyum gue mengembang. Jujur aja, gue bangga banget sama orang di depan gue ini. Apa karena gue tahu kisah dibalik perjuangannya? Ah, entahlah. 

"Tuker otak, dong. Sesekali." Gue mengambil botol berisi sambal di ujung meja. 

"Ogah banget. Mending otak lo dijual aja, deh. Gue yakin harganya mahal, soalnya masih bagus. Kan jarang dipake," ucapnya enteng. 

Niat hati sambalnya mau gue tuang ke mangkuk gue sendiri, eh malah gue sumbangin banyak-banyak ke mangkuknya dia. "Argh! Gue kan nggak suka pedes! Gila lo, ya!" protesnya yang memasang ancang-ancang siap menggetok gue pakai sendok. 

"Bodo amat! Inget kata Ibu lo, nggak boleh buang-buang makanan. Jadi harus dihabisin, biar omongan lo makin pedes," Lidah gue melet, meledek. 

Malam harinya, Bima nelepon gue sambil marah-marah oleh sebab nggak berhenti bolak-balik ke kamar mandi. Perutnya panas sekaligus melilit. Sampai pukul sebelas malam gue nggak berhenti ngakak baca omelannya dia di chat. Syukurin

*****

Ibu:
Mi, kamu bisa ke kedai sekarang? Ibu sama Yura lagi bikin kue, nih. Kalau kamu kosong, ke sini aja. Biar Bima jemput kamu.

Pesan dari Ibu satu jam lalu. Kami memang bertukar nomor WA sewaktu gue ke rumahnya. Gue nggak keberatan sama sekali, karena bagi gue Ibu bagai orang tua kedua. Maksudnya, bukan mertua, tapi ya.. Ibu. Sebatas Ibu, wanita yang karena sikapnya begitu baik, gue sangat menghargai beliau. 

Begitu juga dengan Yura. Dia seorang perempuan yang cukup enak diajak ngobrol, walaupun gue nggak terlalu mengenalnya dan kami hanya sesekali chatting-an. Tapi, tiap kali berbincang, gue merasa satu frekuensi.

Sekarang, gue sedang di rumah Ibu. Gue nggak minta jemput Bima karena jarak dari rumah gue ke rumah Bima itu lumayan jauh. Jadi, Koko yang mengantar gue, biar pulangnya gue diantar Bima. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now