34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)

5.7K 973 369
                                    

Ibu:
Mi, kamu bisa bantu Ibu bikin kue, nggak?

Lima menit berlalu, Army menimang-nimang jawaban yang tepat. Sudah tiga kali Ibu menawarkannya main ke rumah Ibu, tetapi Army menolaknya secara halus. Ia pun tidak enak kalau harus menolak lagi, sebab Yura tak pernah absen mengirimnya kue buatan Ibu.

Kalau dirinya mengiyakan, ia takut bertemu Bima. Army pun memberanikan diri bertanya lebih dulu.

Army:
Ada Bima nggak, Bu?

Ibu:
Nggak ada, kan dia kerja. Yura juga ngilang dari pagi. Ibu sendirian, nih.

Tanpa pikir panjang, Army menyambar jaketnya, meluncur ke rumah Ibu. Semangatnya meluap dan kesedihannya berangsur membaik.

Akhirnya, ia bisa bertemu Ibu tanpa khawatir kehadiran Bima yang membuatnya tidak nyaman. Army mengendarai motornya gesit, sesekali ia bersenandung ria saat lampu merah menyala.

Army sampai di rumah Ibu setengah jam kemudian. Tulisan 'Tutup' terpampang di pintu kaca yang setengah terbuka. Ibu sedang menyalakan mixer ketika Army mengetuk pintu, memberi salam.

Ibu menyambut Army, memeluknya.

"Kamu apa kabar? Udah lama nggak ke sini."

"Army baik, Bu. Ibu gimana? Sehat, kan?"

Ibu mengangguk. "Alhamdulillah. Yuk, bantu Ibu bikin kue. Ibu punya resep baru, loh."

Keduanya larut dalam aktivitas membuat kue diselingi percakapan ringan yang menyenangkan. Army bukan orang yang mudah mencari topik obrolan, tetapi bersama Ibu, ia seakan menemukan dirinya versi yang lain. Yang penuh tawa dan lepas.

Waktu berjalan cepat tanpa terasa. Jam menunjukkan pukul tujuh malam ketika kue-kue telah matang dengan sempurna. Eh, tidak juga. Satu kue bolu berakhir bantet setelah dikeluarkan dari oven. Namun, rasanya tetap lezat.

Army dan Ibu duduk berhadapan di kursi kedai, memotong kue di atas meja menjadi beberapa bagian sama rata.

"Kue sebanyak ini Ibu kasih ke siapa selain buat keluarga Ibu?" tanya Army yang tangannya bergerak hati-hati membelah kue bolu.

"Ke tetangga. Ke orang-orang yang kerja di sini. Ke siapa aja yang lewat."

Army mengangguk paham.

"Tunggu sini. Ibu punya sesuatu buat kamu." Ibu pergi ke atas sementara Army memotong kue yang meskipun sudah ia potong dengan penuh perhitungan, ukurannya tetap tidak sama.

Ibu kembali membawa sebuah kotak beludru berwarna merah. Wanita itu duduk di hadapan Army, senyumnya mengembang.

"Ibu mau kasih ini ke kamu." Ibu menyodorkan kotak itu kepada Army.

Gerakan Army terhenti. Ia melihat kotak pemberian Ibu dengan tatapan bingung.

"Ayo, buka." Ibu mengangguk yakin.

Ragu-ragu, Army membuka kotak itu. Sebuah cincin dengan ukiran yang sedehana berkilau diterpa cahaya lampu. Warnanya perak, sangat cantik.

"Ibu udah niatin beli ini buat Army. Harganya nggak seberapa, tapi Ibu mau anak-anak Ibu pakai ini."

"B--Bu... I--Ini..." Bibir dan jari Army bergetar.

Rasa bersalah itu menyerbu Army untuk kesekian kalinya. Mana mungkin Army bisa menerima pemberian sebesar ini dari Ibu? Dia dan Bima tidak benar-benar ada hubungan, bahkan ikatan mereka kandas sebelum dimulai.

"Ma--Maaf, Bu. Army nggak bisa terima. Bukan Army nggak mau, tapi ini... terlalu besar untuk Army..." Army menutup kembali kotak itu, mendorongnya pelan ke arah Ibu.

ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang