14. Prabumi dan Semesta Barunya

5.8K 841 211
                                    

Kesunyian menyergap kala Bima terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Nyaris dua jam dia berguling ke kanan ke kiri mencari posisi paling nyaman menuju alam mimpi. Namun, semuanya terasa sia-sia. Isi kepalanya silih berganti dari satu kejadian ke kejadian lain yang begitu acak. Kadang ia teringat skripsinya yang setengah jalan, kadang ia teringat masa lalunya yang tak hilang, kadang teringat sesosok perempuan yang rambutnya berwarna keemasan diterpa cahaya senja. 

Bagaimana keadaannya? Bagaimana kondisi kakinya? Bagaimana kondisi hatinya? Terlalu banyak bagaimana yang Bima gantungkan tanpa sebuah aksi mendapatkan jawabannya. Kenapa juga dia harus merasa cemas terhadap gadis itu? Kenapa juga hatinya ikut tersayat melihatnya menangis? Apa karena ia juga pernah mengalaminya sehingga ia paham betul rasanya?

Kegaduhan kecil dari bawah memecahkan lamunannya. Ia keluar kamar, memeriksa siapa gerangan yang grasak-grusuk tengah malam begini. 

Dilihatnya sang ibu tengah memindahkan beberapa bahan makanan hasil belanjaan tadi sore ke dalam freezer

"Loh? Kok belum tidur, Bim?" tanya ibunya menyadari Bima berdiri di pintu dapur. 

"Ibu ngapain malam-malam masih sibuk ngurusin dapur? Besok aja, Bu. Ibu harus istirahat," ujar Bima cemas mendekati ibunya. 

"Nggak apa-apa, Nak. Lagian Ibu kebangun, nggak bisa tidur lagi," respon sang Ibu sangat meneduhkan. 

"Kan Ibu bisa bilang Bima atau Yura, Bu." Bima bergabung bersama ibunya, menata bahan makanan untuk diolah besok ke dalam freezer

"Yura kecapekan, tadi rame banget, dia sampai kualahan di dapur." 

Mendengar pernyataan Ibu, Bima sedikit lega. Syukurlah jika kakak perempuan yang sulit di aturnya bisa membantu Ibu di kedai. 

Mereka sama-sama terdiam, membiarkan angin malam berbisik menciptakan hening. Semua bahan makanan selesai di masukkan ke dalam freezer. Ibu keluar lebih dulu dari dapur diikuti Bima yang mengekor di belakangnya. Bima kira Ibu akan segera masuk kamar, ternyata wanita itu justru duduk di salah satu kursi kedai. Matanya yang keriput memandangi foto keluarga mereka yang mulai lusuh menempel di dinding. 

Bima duduk di samping ibunya. Tak ada niatan memulai percakapan lebih dulu. Melamun bersama Ibu sambil memandangi foto keluarga mereka menjadi rutinitas tak sengaja yang Bima suka. 

"Bim..." 

"Ya, Bu?"

"Doain Ibu ya, Bim," lirih Ibu. 

"Bima selalu doain Ibu." 

"Ibu mau lihat Bima nikah," katanya. 

Jantung Bima berhenti. 

"Kamu 'kan sebentar lagi lulus, Bim." 

"Bu..." Bima menyela sebelum ibunya semakin melantur. "Bima akan nikah di waktu yang tepat, kok. Ibu tenang aja. Kalau waktunya tiba, Bima kenalin calon istri Bima yang cantik kayak Ibu." 

Ibu tersenyum, kepalanya menggeleng lemah, "Ibu nggak cantik Bima. Udah tua." 

"Ibu memang nggak cantik lagi di wajah. Karena kecantikan Ibu pindah ke hati." 

"Bisa aja kamu." 

Obrolan ringan bersama Ibu selalu Bima rindukan saat ia sendirian di kamar indekosnya. Untung saja belakangan ini Bima lebih sering pulang karena jadwal mata kuliah yang longgar.

Biasanya, mereka akan mengobrol tentang hal-hal kecil, kemudian sama-sama terdiam saat topik pembicaraan habis. Mereka diam, memandangi sesosok  pria yang tengah tersenyum di foto ini. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now