5. Aku di Garis Terdepan

10K 1.1K 244
                                    

======================================================

Terimakasih untuk Bung Fiersa atas lagu berjudul Garis Terdepan. 

Sebuah inspirasi untuk menulis Part Ini

======================================================

Mendengar kabar Langit sakit, aku segera meluncur ke rumahnya mengendarai sepeda. Jangan tertawa, aku lebih suka mengayuh kendaraan roda dua itu dibanding harus naik sepeda motor. Rumah Langit dekat dari rumahku. Hanya berbeda kompleks saja.

Tiba di sana, aku disambut hangat oleh kedua orang tuanya yang baru saja mengantar Langit ke dokter. 

"Kok lo bisa sakit?" tanyaku begitu masuk ke kamarnya mengambil posisi duduk di sisi kasur. 

"Nggak tahu, semalam tiba-tiba badan gue demam tinggi gitu. Sekarang udah mendingan sih." Dia merekatkan jaketnya. Kakinya di bungkus kaus kaki.

"Mau makan?" tawarku. 

Langit mengangguk. Kuambil semangkuk bubur yang sudah disiapkan oleh ibunya Langit. Terasa hangat saat aku menangkup kedua tanganku di permukaannya. Asapnya mengepul mengantar aroma yang sedap ke rongga hidung. 

"Nih, bisa makan sendiri, kan?" Kutaruh mangkuk itu di atas pahanya. 

Dia menggeleng, "Males. Suapin dong. Masih lemes banget nih gue." 

Aku mengerutkan kening. Huh! Dasar manja. Aku pun mengambil kembali mangkuk itu. Menyendokkan bubur dan menyuapinya. Dia tersenyum, "Gue denger-denger, lo abis nonjok Bima, ya?" Mulutnya setengah mengunyah.

"Nggak sengaja itumah," jawabku. 

"Gimana ceritanya? perasaan dia bukan orang yang suka gangguin cewek-cewek di kampus deh. Yang ada dia yang sering digodain cewek."

"Ya gitu. Katanya dia kalah main game, terus konsekuensinya harus minta nomor telepon cewek tergalak se-Ilkom!" rutukku sebal mengetuk-ngetuk sendok yang tak bersalah ke mangkuk. 

Langit tertawa. Bubur di mulutnya habis, aku kembali menyuapi. "Kok lo ketawa, sih? Emang lucu, ya? Yang ada gue sebel banget sama itu orang dan sama elo!" protesku marah. 

"Loh, kok gue?" Alis Langit menyatu. 

"Elo nggak pernah bilang ke gue kalau mahasiwa se-Ilkom ngecap gue sebagai cewek tergalak!" 

"Hah? Lo lupa kali. Jelas-jelas udah sejak pertama kali lo masuk Ilkom dan di-MPA, elo dapat julukan itu karena tampang ketus lo. Sampai senior cewek aja nggak ada yang berani negur lo. Gue bilang ke elo, eh elo malah bilang, 'Ya bodo amat. Nggak peduli gue'." Langit menirukan gayaku berbicara. 

Aku mengingat-ingat. Apa iya? Apa Langit pernah memberitahuku lantas aku masa bodo? Hmm, sepertinya iya. Saat MPA (Masa Pengenalan Akademik) hanya seorang Langit yang berani menegurku kalau salah. Langit menjadi panitia MPA dan aku pesertanya. Aku pun bingung, kenapa senior-senior itu tak berani berbicara kepadaku. Kalau aku salah kan harusnya tegur saja. Pantas aku merasa dispesialkan waktu itu hingga membuat iri peserta MPA yang lain. Senior saja takut padaku, walau aku nggak gigit. Apalagi teman sekelasku. Hanya Nanang saja yang berani menempel ke aku, untungnya dia sama gesreknya. Jadi kami cepat akrab.

"Makannya jangan diemut, Lang. Kayak bocah deh, lo," kesalku melihat mulut Langit yang masih penuh. 

Langit mengangguk, membuka ponsel lantas bermain game. Lihat, aku persis seorang ibu yang menyuapi bocah lelakinya. Bedanya, dia ini bukan lagi bocah. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now