9. Deal! Kesepakatan Baru

5.7K 812 124
                                    

"Gue mau lo jadi pacar gue!" 

Kalimat itu sukses membuat Bima--dan gue sendiri--terheran-heran. Gue cepat-cepat menutup mulut, kok bisa seceroboh itu, sih! Bima mematung di tempat dengan bibir yang menganga. 

"Lo sakit?" Tangannya menyentuh dahi gue. 

"De--dengerin gue dulu!" Gue menepis tangan Bima. "Ma--maksud gue bukan pacar sungguhan." Buru-buru gue klarifikasi kalimat itu sebelum cowok di depan gue ini berpikir macam-macam. 

"Tubuh lo kebentur aspal, ya?" Bima nggak berhenti memeriksa kondisi tubuh gue. Bahkan tubuh gue diputar-putar udah kayak komedi putar. 

"I'm totally fine, Bim!" teriak gue emosi. 

Ya, Tuhan! Belum mulai menjelaskan aja udah sebegini menguras tenaga, gimana pas gue jelasin nanti. 

"Berarti lo halu, ya?" Kali ini Bima mendorong kening gue dengan telunjuknya. 

Kalau aja dia bukan aset berharga, udah gue patahin jarinya yang kurang ajar ini. 

"Lo harus dengerin gue dan kita nggak bisa ngobrol di sini."

"Terus di mana?"

"Di tempat yang sepi." 

"Wow! Selain halu, lo cewek yang agresif juga, ya." 

Gantian gue yang menyentil telinganya. Dia mengaduh kesakitan. "Sakit tau!"

"Di tempat yang nggak terlalu ramai maksud gue."  

"Ya bilang, dong. Malah nyentil. Sakit banget lagi." Dia mengusap-usap kupingnya yang merah. 

Kami pun berjalan cukup dekat dari taman, menyebrang jalan dan menyusuri trotoar. Ada sebuah kedai kopi yang sepi dan tidak terlalu besar. Hanya beberapa kursi dan meja di bagian dalam, lebih banyak kursi di bagian luar. Mungkin memang untuk orang-orang yang merokok sembari memandangi jalan  raya. 

Gue dan Bima duduk di kursi bagian dalam paling pojok. Seorang barista di bagian depan sibuk meracik kopi. 

"Jadi apa yang mau lo bicarakan?" Bima melipat tangan di atas meja. 

Pesanan datang. Dua Caramel Macchiato, yang dingin buat gue, yang panas buat Bima. 

"Sebelumnya, gue minta lo jangan berpikiran macam-macam tentang gue dan jangan salah paham." Tekan gue dari awal. 

Bima menggaruk-garuk dagunya yang kasar. "Hmmm..."

Gue mengeluarkan segulungan kertas putih yang penuh coretan dan garis berliku-liku. Tulisan 'Army on Revenge' paling besar di bagian tengah atas berwarna merah. Bima mengerutkan keningnya. 

"Gue butuh lo buat jadi variabel x." Telunjuk gue mengetuk-ngetuk salah satu simbol yang gue namakan variabel x. "Tugasnya berperan jadi... yah bisa dibilang pasangan variabel y." 

"Maksudnya?" Bima meletakkan jarinya di gambar bergambar bendera putih. 

"Jadi, x dan y bekerja sama untuk membuat z mengibarkan bendera putih. Z dinyatakan kalah jika z menyatakan diri kalau ia kehilangan y karena udah diambil x," jelas gue. 

Tiba-tiba Bima tertawa sinis. "Sok keren banget rencana lo. Intinya lo minta gue buat jadi pacar bohongan lo supaya yang namanya Langit ini nyesel kan ninggalin lo?" singkatnya.

Gue mengangguk. "Bukan meninggalkan. Lebih tepatnya mencampakkan." 

"Langit? Bentar..." Bima tampak berpikir. "Kayaknya nggak asing, deh." 

"Teman angkatan lo, Langit Lazuardi." 

"Oh... Dia. Hubungan lo ama dia apa?" Mata Bima menyipit penuh selidik. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now