[24] 𝐃𝐞𝐜𝐢𝐬𝐢𝐨𝐧

678 126 30
                                    


Minal Aidin walfaidzin semuanya. Mungkin ada yang lupa sama cerita ini sebelumnya dan lama nungguin kelanjutannya, mianhae TT.

Happy Reading !
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
"Mengapa kau melakukan ini untukku sweetie"

Bibir merah yang membengkak bervolume patut diabaikan karena dua titik di antara leher lebih jelas terasa ngilu , dengan denyut lambat menusuk-nusuk setiap sel syaraf.

Lengan Irene merosot, tubuh mungilnya melemas seolah dapat tumbang kapan saja jika tak ada Chanyeol yang menahannya. Vampir itu mendekat, mencerukkan kepala, melakukan sesuatu yang Irene sendiri dapat rasakan secara samar. Sebuah kecupan ringan yang dingin mendarat pada sisi lehernya.

Irene berpikir perlu untuk memohon mengakhiri ritual ini. Darahnya seakan disedot dalam jumlah banyak, dia tak menyesal menyerahkannya secara sukarela, tetapi rasa sakit yang disebabkan hal itu sedikit sulit ditoleransi untuknya yang hanya manusia.

"Kau seharusnya pergi jauh dari negara ini Irene. Bukannya menungguku dan memberikan darahmu. Dasar keras kepala"

Irene pasrah ketika Chanyeol memagutnya, menekan tengkuknya, meraup bibirnya lagi untuk memulai cumbuan nikmat, membuatnya melupakan rasa-sakit. Seiring pagutan-pagutan lembut dan melambat di seputar mulut dalam, lidah sang vampire yang dingin mengoreksinya, seakan menjejali Irene dengan keping-kepingan es.

Dan lagi, tubuh atas vampire itu, tubuh yang shirtless memang tidak baik untuk kesehatan jantung manusia. Irene akan selalu kalah melawan keliaran Chanyeol sekalipun keberaniannya muncul menjadi sisi yang lebih liar.

Nafas Irene yang terengah memperingatkan Chanyeol seketika terhenti. Dengan lengan masih mengalung di seputar leher Chanyeol, posisi gadis itu membawa kemudahan bagi sang pria.

Irene bersandar lelah di sisi bahu, membiarkan Chanyeol melangkah dengan dirinya dalam gendongan. Gesekan daun pintu kamar mandi yang dibuka dengan satu tangan lalu tubuh mungilnya berakhir didudukkan pada sisi ranjang.

Senja membayang diantara gedung-gedung pencakar langit, beradu dengan sorot metropolitan, langit jingga mulai sirna berganti kelam. Chanyeol membiarkan Irene menikmati pemandangan kota, dengan dirinya yang turut duduk saling bersisian. Mengabaikan permintaan Irene yang memberengut memperingatinya untuk mengenakan pakaiannya kembali.

"Vampire tidak akan kedinginan, apa kau tidak tau hal itu?"

Irene menghela nafas, mencecap bibir bawah yang membengkak, lalu kembali menatap pada sisi langit yang dibatasi jendela-jendela raksasa transparan. Chanyeol tidak memintanya untuk menutup tirai lagi kali ini. Anak matanya melirik penuh antisipasi, bisep dan sixpack milik pemuda vampire itu masih tampak jelas meskipun bekas lukanya seakan menjadi noda. Gradasi langit senja kemerahan membayang membentuk sebuah refleksi, terkesan aneh dan Irene mulai sulit mengontrol detak jantungnya. Ia menyadari kulit Chanyeol berkilau indah keemasan, entah ia harus berterimakasih pada lighting alami akibat senja atau justru merutukinya.

"Sunbae-nim. Kau tidak ingin tau berita tentangmu di luar sana?"
Irene yang bersuara, seusai jingga yang padam keunguan dan matahari terbenam di ujungnya. Irene menanyakan itu, karena di ruang rawat ini sepertinya sengaja tidak dilengkapi dengan televisi. Tapi Irene tau ada ponsel milik Chanyeol yang diletakkan di atas nakas.

Satu kekehan sebagai respon, Chanyeol yang belum menatapnya seolah memberikan kesempatan bagi Irene untuk memandang sisi wajah tampan itu lebih lama.

"Untuk apa?" Kali ini, Chanyeol menatap pada pemilik hazel yang berkedip canggung.

"Vampire tidak membutuhkan berita bodoh seperti itu."

Kɪssɪɴɢ Bʟᴏᴏᴅ • 𝐶ℎ𝑎𝑛𝑅𝑒𝑛𝑒Where stories live. Discover now