Akhir Kisah Tanpa Judul

6.4K 335 24
                                    

Hari ke 55.

"El!"

BRAAKK!!

"Aaaaa!!"

Suara jeritan perempuan membuatku terkejut dan sontak bangun dari tidur lenaku. Memijit pelipis yang seketika pening akibat terlonjak bangun tiba-tiba.

"Sayang kam-"

Aku terpaku, mataku melebar melihat sosok laki-laki yang datang tergopoh-gopoh itu. Nampaknya lelaki itu pun sama terkejutnya denganku. Aku melirik Elroy yang malah menarik bantal guna menutupi wajahnya.

"Kita pergi s-"

"El! Astaga, El. Ada wanita di tempat tidurmu!"

Wanita itu memotong kalimatnya bahkan menepis tangan Evan dan berjalan mendekati ranjang. Dengan hebohnya wanita cantik yang ku tebak adik El, Natasha, mengguncang tubuh El hingga membuat lelaki itu mengerang kesal.

"Asha?" Serunya terkejut.

"El! Kau membawa wanita ke kamarmu? Apa dia calon kakak iparku? Katakan, ayo jawab El! Oh God! Aku merestuimu! Dia cantik. Oohh! Aku senang sekali, kita bisa menikah di hari yang sama El? Tuhan, syukurlah."

Wanita itu mengoceh panjang lebar, ku lihat El menggaruk tengkuknya sambil melirikku. Aku membuang muka, memandang jendela yang sedikit terbuka. Mencoba tak menghiraukan ocehan wanita di sampingku, sekaligus mencoba melupakan keberadaan keparat yang sudah membuat hidupku hancur.

Ingin saja aku beranjak meninggalkan tempat ini. Namun apalah daya, tubuhku hanya terbalut selimut tanpa ada sehelai benangpun  diantaranya. Aku mendesah, sungguh, aku membenci situasi ini. Berada diantara mereka yang membuat hidupku hancur berantakan. Sekali lagi aku mendesah, menatap cahaya mentari yang mengintip dari balik tirai.

"Kakak ipar? Kau baik-baik saja?"

Suara wanita itu membuatku menoleh menatapnya. Ku coba memaksakan sebuah senyuman dan mengangguk. Aku kembali menatap kearah jendela, namun sedetik kemudian suara itu kembali mengusikku.

"Kakak ipar, kenalkan," ujarnya sambil mengulurkan tangan. Aku diam menatap tangannya yang terulur, dia menggoyangkan tangannya isyarat agar aku menyambut uluran tangannya. Dengan terpaksa aku menyambutnya.

"Natasha, adik iparmu," ujarnya sambil tersenyum lebar.

"Dan dia," telunjuknya mengarah pada Evan yang terkejut.

"Dia calon suamiku, calon adik iparmu. Evan Reinhard."

Aku menatap tajam sosok yang di tunjuk Natasha. Calon suami katanya? calon suami. Ck, aku berdecak sinis. Lalu bagaimana denganku? Bukankan aku calon istrinya? Aku mengerjap, merasakan hawa panas mulai menjalari mata dan hidungku. Calon adik iparku? Kakak ipar? Apa semua ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku menunduk, mencoba meredam rasa sesak yang tiba-tiba merengsek keluar. Aku marah, kecewa, terluka. Tapi aku tak berdaya. Di balik selimut, tanganku yang mencengkram erat selimut, di genggam erat. El menggenggam erat tanganku. Hatiku benar-benar terluka.

"Kakak ipar? Kakak kenapa?" Jemarinya menyibak anak rambutku yang terjuntai menutupi wajah. Aku memejamkan mataku rapat-rapat agar air mataku tak mampu menetes.

"Kak? Apa k-"

"Ayo kita keluar,"

Suara Evan memotong kalimat Natasha, dan ku rasakan jemari Natasha menjauh. Suara pintu tertutup. Tiba-tiba tubuhku di tarik dan di dekap erat oleh El. Elroy memelukku? Sungguh? Ini pasti mimpi. Tidak!

Aku terkebil-kebil dalam pelukkannya. Selama berhari-hari, inilah pertama kalinya seorang El memelukku. Setelah selama ini lelaki itu bersikap sangat tidak manusiawi terhadapku.

Aneh. Tapi, pelukannya hangat dan menenangkan.

**

Aku duduk di sebelah El, menundukkan wajahku tanpa berniat mengangkat dan menatap satu persatu wajah di hadapanku. Aku takut emosiku kembali memuncak saat mataku menatap keparat itu.

"Kakak ipar, apa kau baik-baik saja? Wajahmu s-"

Aku mencekal tangan Natasha yang hendak menyibak rambutku. Aku mendongak menatap wajah terkejutnya, "Aku baik-baik saja."

Ku duga, Natasha tidak mengetahui apa yang terjadi. Antara aku, Evan dan El. Aku mengukir senyum pedih. Merutuki kebodohanku, mempercayai lelaki itu. Ah... aku harus lebih tegar. Pasti ada hikmah di balik semua ini. Aku harus kuat, sabar...

Aku menguatkan hatiku yang rapuh. Menahan sekuat tenaga air mata yang hendak berontak. Menghembuskan nafas perlahan lalu mulai menyuap nasi ke dalam mulut. 'Tak perlu kunyah, lamgsung telan saja. Supaya aku tidak berlama-lama di sini,'  batinku.

Aku makan dengan cepat, meneguk habis segelas air dan bangkit menuju kamar.

"Kakak ipar! Kau tidak sopan. Aku sedang berbicara padamu! Jangan membuatku marah."

Aku berhenti, menoleh dan bertanya, "Bukankah seharusnya aku yang merasa marah? Bukan begitu, Evan?"

Baru saja melanjutkan langkahku tangan kecil Natasha menarik kasar lenganku hingga aku terhuyung ke belakang.

"Apa maksudmu?" Desisnya marah. Aku menoleh menatap Evan sambil menggerakkan daguku menunjuk lelaki yang berdiri gelisah itu.

"Tanyakan padanya. Atau dia...." lalu kepala meneleng kekanan sambil menatapnya.

"Apa yang terjadi?" Wanita itu tampak marah, matanya menyorot tajam bergantian menatap kakak dan calon suaminya. Aku mendesah ketika wanita itu malah menarikku duduk di sampingnya.

"Baiklah, siapa yang ingin bercerita? Kau?" El bertanya padaku sambil tersenyum sinis. Entah keberanian dari mana kudapati aku menatapnya berani.

"Aku? Bukankah aku korbannya, kalian yang menyeretku secara paksa ke dalam lubang neraka ini." El menatapku semakin tajam, tangannya terkepal erat.

"Aku, aku yang bersalah."

Semua mata menatap Evan, lelaki itu mengusap wajahnya lalu berlutut di hadapan Natasha. Apa? Bukankah seharusnya dia berlutut di hadapanku?

"Aku jatuh cinta padamu sejak pertemuan pertama kita di Aussie. Saat itu aku sudah berpacaran dengan Alara. 13 bulan yang lalu El menemuiku, menawarkan pertukaran. Aku memberikan Alara padanya dan dia akan merestui hubunganku denganmu. Aku mencintaimu Asha, sungguh-sungguh mencintaimu."

Aku terpaku, hatiku bagai dihujam puluhan pisau. Bodoh, aku benar-benar bodoh. Aku melirik El yang terkekeh, seolah menertawakanku. Seperti sebuah bom meledak di hatiku yang memang telah hancur, aku berdiri berjalan menuju dapur.

Betapa beruntungnya aku, sebuah pisau tergeletak. Dengan cepat ku ambil dan menghujamkannya ke dadaku. Sakit? Entahla, rasa sakit yang saat ini ku rasakan, apakah dari pisau ini, ataupun karena kenyataan yang baru saja ku dengar.

Tubuhku ambruk, tergeletak lemah di lantai. Genangan darah membasahi lantai putih dapur mewah ini. Mataku mulai berat, ahh... mungkin sudah saatnya.

"AARRRGGGHHHH!!!!!"

*TBC*

Jadi gimana? Alara nasibmu naakk... maapin mak ya nak, kesian kali idup kau..

Vote n komen pliss😘

Short Story About LOVEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora