Berbagi Itu Indah

3K 252 37
                                    

Guys, saya tanya nih. Untuk Dendam Dalam Cinta 2, kalian mau lanjut di sini, atau lapak baru?

♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️

Kasihan Mak Surti. Sudah hampir tiga bulan ini ia terseok-seok mencari rezeki. Dampak pandemi benar-benar menyulitkannya. Suami tuanya hanya mampu menatap nanar periuk nasi hitam yang tergantung sejak semalam.

“Piye, Pak?” Mak Surti mengusap air mata yang meleleh. Pak Sarmin menunduk. Matanya berkedip-kedip menahan panas yang menyebar. Ia mengusap wajahnya cepat dan bangkit. Tubuh kurusnya gemetar menuju putranya yang berbaring lesu.

“Bapak keluar dulu, ya, Ko? Doain Bapak dapet rezeki hari ini,” lirihnya. Lalu mencium dahi Joko. Joko menggumamkan Aamiin dengan lemah. Pak Sarmin tau putranya lapar. Sejak semalam keluarganya tak memperoleh rezeki barang sepeser.

Ia melangkah sedih meninggalkan rumah reot beratap jerami. Tanpa menoleh ia melajukan kakinya melewati lorong-lorong sempit. Di ujung jalan raya, di seberang toko sepeda ia melihat sebuah mobil yang membagikan sembako. Jantungnya berdegub kencang. Ia langsung berlari sambil menjerit.

“Pak, tunggu, Pak! Saya butuh sembakonya, Pak! Tolong, Pak. Berhenti!”

Dengan sisa tenaga ia terus berlari mengejar mobil hitam yang mulai bergerak. Ia terjatuh. Bangkit dengan susah payah. Pandangannya mengabur, karena air mata yang mulai merebak.

“Tolong, Pak. Berhenti!” lirihnya sambil mencoba berlari lagi. Namun pergelangan kakinya terkilir. Ia nyaris tersungkur lagi di aspal berdebu itu.

Melihat mobil itu hilang dari pandangan membuat jantungnya mencelos. Tubuhnya luruh ke aspal. Debu-debu mengotori celana kumalnya. Ia terisak. Membayangkan Joko dan juga Surti di rumah. Mengangkat kepala, ia memandang iri orang-orang yang kegirangan menggendong tas besar berisi sembako. Hatinya sakit.

“Ya Allah ....”

Mengusap air mata, Pak Sarmin bangkit. Mengumpulkan harapan yang tercecer, dan semangat yang nyaris menguap. Ia melanjutkan langkah. Pasar. Ya, ia akan menuju ke sana. Meminta sedikit pekerjaan, atau sesuatu yang bisa ditukar dengan tenaganya. Apapun yang mampu membuatnya mendapatkan sedikit makanan.

Ia takkan mengemis uang. Ia bukan orang cacat yang butuh belas kasihan seperti itu. Tubuhnya sehat, lengkap. Sejak kecil, meskipun melarat, ia takkan pernah meminta-minta. Mengemis uang, memanfaatkan kemiskinannya. Ia dan keluarganya memang hidup miskin, melarat. Tapi mengemis tidak akan pernah menjadi pilihan, apapun keadaannya.

“Astagfirullah ....”

Lagi. Tubuhnya luruh ke aspal. Matanya nanar menatap pasar yang melompong. Sepi. Toko-toko tutup. Lalu bagaimana ia akan mencari pekerjaan?

Tak ingin putus asa terlalu cepat. Kembali dikuatkannya tekad. Bahwa jika ia berusaha, Allah pasti membantunya.

“Bismillah,” lirihnya.

Namun, hingga matahari mulai lelah bersinar dan ingin bersembunyi. Ia tak kunjung mendapatkan hasil. Kakinya berhenti, lelah. Pak Sarmin melabuhkan tubuhnya di bawah pohon mangga yang lebat berbuah. Harum mangga menggoda penciumannya. Perutnta meronta, menjerit kelaparan.

Pak Sarmin mendongak. Lalu menatap rumah mewah di hadapannya. Pastilah mangga-mangga ini milik pemilik rumah mewah ini, batinnya suram.

“Permisi,” Takut-takut ia menyentuh pagar berwarna emas yang tampak angkuh itu. Setelah beberapa kali mengucapkan salam, seorang gadis kecil berlari.

“Cali siapa, ya?” tanyanya ramah. Pak Sarmin meringis malu. Sebelum ia sempat menjawab seorang lelaki mendekat.

“Cari siapa, Pak?” tanya lelaki itu. Malu-malu Pak Sarmin menunjuk pohon mangga.

Short Story About LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang