destiny

2.5K 278 11
                                    

“Bi.”

“Hm?” Dia masih menulis, tak berpaling padaku.

“Gue sayang, Lo,” ujarku mantab.

Abi menoleh, lalu terkekeh. Tangan besarnya mendarat di puncak kepala, bergerak-gerak mengacak rambutku. Diam dan terus menatap matanya yang berbinar menjadi pilihan terakhir. Tak perlu menanti jawabannya, karena tau bagaimana kedudukanku di hidupnya.

“Tau, Bill,” ujarnya geli.

Dia kembali menulis, kali ini dengan wajah serius. Lalu aku beranjak, mengitari meja dan berlalu meninggalkannya. Kali ini aku benar-benar pergi, selamat tinggal, Bi.

Sebelum melepasi pintu kelas, aku menatapnya untuk terakhir kali. Entah setan apa yang merasukinya, ia ternyata sedang memandangku dari tempat duduknya. Keningnya tampak berkerut.

“Bye,” lirihku.

---

Setahun ini pekerjaanku semakin menumpuk. Atau ... aku masih terus berpura-pura sibuk untuk menghindari rinduku pada Abi? Ah ... sepertinya begitu. Lima tahun berlalu, tetapi perasaan itu justru semakin kuat. Nyaris membuatku gila!

“Bill?”

Aku mendongak. Dewi mendesah, menarik kasar kursi dan menjatuhkan bokongnya.

“Bos baru galak bener!” serunya dengan wajah merah.

“Pekerjaan gue semua dikritik. Yang ini kuranglah, yang itu salahlah. Yang kebalik daftarnya lah, huh!” adunya. Kemudian lehernya terjulur mendekatiku. Sambil telapak tangan kanannya berayun naik turun, memberi isyarat mendekat. Patuh, aku mendekatkan wajahku.

“Orangnya guanteng, Bill! Katanya, sih, jomlo, tapi ... galaknya naudzubillah! Hati-hati, Lo, ya?”

Aku meringis. Mengangguk patuh dan melanjutkan pekerjaan. Lima tahun ini, mati-matian aku mengusir perasaanku. Yang kulakukan adalah kerja dan kerja. Mana peduli aku dengan lelaki, huh!

Brak!

Setumpuk dokumen mendarat di meja kerja. Aku melotot. Apa-apaan ini?! Aku cukup lelah karena kebodohanku bekerja terus menerus, bukan berarti aku sudi ditambah setumpuk masalah lagi! Emosiku merambat naik, aku mendongak.

Tertegun.

Mata itu tajam, dingin, menatapku. “Selesaikan. Saya mau besok pagi sudah di meja saya.” Kemudian ia berlalu begitu saja.

“Bill?”

Aku masih terpaku menatap pintu yang menelan tubuhnya.

“Sst! Bill?! Woi, Bill!”

Dia ... ke-kenapa dia-

“Nabilla, woi! Budek, Lo, ya?!”

“Hah?”

“Astaga, Bill. Lo terpesona sama bos galak itu? Jangan dong, Bill,” cerocos Dewi. Aku menggeleng.

“Bu-bukan, Wi. Enggak!” kilahku. Dewi mendesah.

“Ya, emang cakep, sih. Tapi ih ... Lo jangan ikut-ikutan fall in love gitu, dong,”

Kali ini aku yang mendesah. Fall in love? Aku melirik pintu itu lagi. Sudah sepuluh tahun aku fall ini love dengannya, Wi. Lagian, kok bisa Abi jadi bosku? Ah, sial!

---

Lembur lagi, huft! Aku melirik jam di atas meja, pukul tujuh lebih. Sementara dokumen yang Abi berikan masih setengah lagi. Ya Tuhan, nasibku malang banget, sih.

09.25 PM.

“Belum pulang, Mbak?”

Pertanyaan Pak Dul mengejutkanku. Buru-buru lelaki paruh baya itu meminta maaf.

“Ga papa, Pak. Cuma kaget, kok.”

“Mbak Bill serius banget, sih. Udah malem, Mbak, pulang saja. Nanti saya panggilkan ojek, ya?”

Benar, hampir setengah sepuluh. Aku mengucapkan terima kasih setelah menyetujui saran Pak Dul. Memintanya menunggu dan menemaniku turun ke lobby, Pak Dul terbahak-bahak.

“Lho, takut toh? Kok berani lembur sampai jam segini?” godanya di dalam lift.

Tiba di lobby, kami terkejut mendapati bos baru berdiri membelakangi. Pak Dul buru-buru menyapa, sementara aku beringsut mendekati sofa dan duduk menunggu ojek.

“Saya antar.”

Aku mendongak. Mata itu masih dingin. “Ga perlu repot-repot, Pak. Saya sudah telpo-”

“Sudah saya batalkan ojeknya.”

“Hah?!” Aku menoleh menatap Pak Dul yang sedang meringis memberi kode bahwa Bos Sialan ini yang menyuruh. Saat mataku kembali pada sosok Abi, lelaki itu berbalik.

“Ayo!”

Ish! Terpaksa aku mengikuti punggung lebarnya. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan. Anehnya, lelaki itu berhenti tepat di depan rumah tanteku. Wtf!

Tanganku sibuk membuka seatbelt, ketika telapak tangannya menangku wajahku memaksa memandangnya.

“Puas?” tanyanya serak.

“Hah?” Puas apa? Ia mendesah, perlahan mendekat dan mengecup keningku. What?!

“Puas main petak umpetnya, Bill?” lirihnya. Mataku mencari matanya.

“Aku ga main petak umpet!” bantahku. Ia menaikkan sudut bibirnya. Mengecup hidung, dan berbisik di atas bibirku.

“Lalu, apa yang kamu lakukan lima tahun ini?”

Ya Tuhan, aku, tuh, ga bisa diginiin. Kalau mau cium, cium aja, Bi. Kelamaan, ih ....

“B-bi? A-aku-”

Bibirnya membungkamku. Hah, ingin rasanya aku mendesah. Hahaha, gue ga munafik woi!. Ia menjauhkan diri setelah mengecup pipiku.

“Besok resign. Lalu, siapkan lamaran kamu.”

“Lamaran? Lamaran dimana? Cari kerja itu susah, Bi. Jangan seenaknya kamu gitu, dong!”

“Lamaran di hatiku.” Ia mengedipkan sebelah mata.

“Meskipun secara keseluruhan nilai, kamu sudah diterima sebagai permanen resident. Namun ada beberapa bagian yang perlu dicek ulang.” Ia melirikku. Reflek aku menyilanglan tangan di dada.

“Hm ... kira-kira lima tahun ini,” Abi menatapku dari ujung rambut hingga kaki, “ada yang mengusik milikku, tidak?” lanjutnya.

“Abi!”

“Aku, kan, perlu tau, Bill. Perlu dicek, lho.”

“Kalau mau ngecek, izin sama Om Beni,” tantangku. Ia tertawa.

“Siap, Nyonya!” Lalu kami tertawa bersama.

“Tapi ... dp-nya dulu, boleh, kan?” celetuknya sebelum negara api menyerang, eh ... maksudku Om Beni yang ternyata sudah berdiri di samping pintu mobil.

“Yah ... gagal minta dp!”

Short Story About LOVEWhere stories live. Discover now