assalammualaikum, jodoh.

2.6K 239 3
                                    

“Daru?”

Alisnya naik sebelah. Namun tangannya masih di sana, di bahu seorang wanita berpakaian minim. Aku mendesah. Kutelan rasa kecewa, lalu tersenyum.

“Aku pulang duluan, ya.”

Aku tidak butuh persetujuannya. Kulewati mereka dengan wajah manis, sebisa mungkin tidak kutunjukkan perasaan marahku.

“Pit?” Suara Daru bergema, langkahku terhenti.

“Aku anter, sebentar!” Kalimatnya menimbulkan rengekkan si wanita.

“Ngapain, sih, kamu anterin dia. Dia, kan bisa pulang sendiri, Ru!”

“Kasihan Pita, Riz.”

Kasihan. Oh ....

“Gak usah, Ru. Aku sudah pesan ojek, kok. Bye!”

Buru-buru kutinggalkan mereka. Hatiku sakit! Jadi, selama ini kasihan, ya? KASIHAN?! Sialan, kamu, Daru!

“Ops! Sorry sorry. Lho, Pit?”

Aku mendongak, menatap orang yang hampir kutabrak. Abdi. Aku meringis sambil meminta maaf.

“Bengong, gitu,” godanya. Aku tersipu.

“Mau pulang?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Ayo, bareng aku.” Abdi menarik tanganku menuju parkiran.

“Bisa naik, kan?” Ia bertanya dari balik helem.

Ragu-ragu aku memegang bahunya yang keras dan melangkah menaiki motor besar itu. Deru mesinnya memekakkan. Abdi mulai memandu motor membelah jalan raya.

Akhir-akhir ini Daru mulai bermain-main. Hubungan kami pun entah seperti apa, karena lelaki itu kerap terlihat menggandeng beberapa wanita. Pacaran konon. Anggap saja kami sudah putus!

Abdi selalu menjadi penyelamatku. Tak terduga Ia selalu ada dalam situasi tidak mengenakkan. Melindungiku dengan cara unik.

“Kamu selingkuh sama Abdi?” Daru mengajukan pertanyaan itu ketika kami duduk di taman. Aku menoleh, melihatnya menghembuskan asap rokok dari bibir.

“Kamu selingkuh sama Rizzi, Ara, Denti, Nina, dan yang kemarin?” Ia cepat menoleh, lalu melempar rokoknya.

“Apa-apaan kamu?! Aku yang bertanya, Pit!” bentaknya.

“Aku akan menjawab pertanyaanmu jika kamu bersedia menjawab pertanyaanku, Ru,” ujarku tenang. Ia mendengkus, memalingkan wajahnya yang merah.

“Mereka temanku!”

“Sama seperti Abdi.”

“Bohong!” jerkahnya.

“Kamu juga.”

Aku bangkit, meraih tas. “Gak ada gunanya hubungan seperti ini, Ru. Silakan kamu pilih jalanmu, aku pilih jalanku.”

“Terserah!” Ia bangkit dan berlalu tanpa memandangku yang mulai bersimbah air mata.

Akhirnya, hubungan tiga tahun kami berakhir begitu saja. Tidak adakah rasa di hatimu, Ru?

“Lho, Pit? Kamu kenapa?!”

Sebuah tangan menangkup pipiku dan menghapus air mata yang deras mengalir. Abdi.

“Kenapa, Pit?” ulangnya lebih lembut. Aku pun menangis semakin kuat. Perlahan Abdi memelukku.

Daru mengacuhkanku. Sibuk dengan wanita baru yang ia tukar setiap harinya. Sementara itu, Abdi semakin dekat. Lelaki itu mengikis rasa sakit yang Daru taburkan. Ia menggandengku ketika melewati Daru yang sedang bermesraan dengan pacarnya yang lain.

Lelaki itu juga mencerahkan hariku dengan lelucon konyolnya. Membuatku lupa bagaimana malam yang kulewati ketika Daru dan aku baru saja berpisah. Hingga malam ini, Abdi berdiri gugup di depan pintu rumahku.

“Kok malem-malem, Di?”

“Ada hal penting yang ingin kusampaikan. Padamu dan orang tuamu, Pit,” ujarnya.

Ia duduk dengan tegang di hadapan Ayah. Sementara aku meremas tanganku dengan perasaan campur aduk setelah Abdi mengutarakan niatnya untuk memperistri diriku.

“Apa nak Abdi serius?” tanya Ayah. Abdi terdengar menghembuskan napas.

“Saya sangat serius, Pak.”

Ayah tampak tersenyum lebar setelah Abdi menghilang dari pandangan. Ia tertawa senang dan memuji-muji Abdi di depan Ibu.

“Ayah salut, Bu!” Ayah mengacungkan jempolnya pada Ibu yang sedang mencuci gelas.

“Dia sudah berani menemui Ayah untuk meminta izin. Padahal mereka belum lama dekat,” lanjut Ayah sambil melirikku.

“Iya, Yah. Ibu juga suka, ganteng, sopan lagi. Pinter kamu, Pit,” tambah Ibu.

“Dari pada si Brandalan itu, Ayah gak rela sekali kamu pacaran sama dia. Gak ada masa depan!”

Benar. Ayah dan Ibu memang kurang menyukai Daru. Selain karena sikap asal-asalannya, Daru juga tidak begitu ramah dan sopan seperti Abdi. Tapi ... apakah sudah benar keputusanku menerima lamaran Abdi?

Dua minggu berlalu. Berita pernikahan aku dan Abdi disambut baik teman-teman kami. Namun sejak berita ini menyebar, aku mulai jarang melihat Daru. Ah, Daru lagi. Seharusnya aku tidak memikirkan lelaki lain.

Abdi baru saja pamit setelah mengantarku pulang. Ibu sedang berada di kamar ketika pintu rumah diketuk nyaris seperti didobrak. Aku tertegun saat pintu terbuka, wajah kesal Daru terpampang.

“Kamu mau nikah sama Abdi?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Apa-apan, sih, kamu! Kamu ga nunggu aku, Pit?”

Nunggu? “ Nunggu kamu untuk apa, Ru?”

“Sialan, Pit. Kamu seharusnya nungguin aku, Pit. Kita saling cinta, kalau kamu lupa!”

“Kita saling cinta, kalau kamu ingat pastinya kamu ga bermesraan dengan wanita lain.”

“Brengsek! Mereka cuma temen, Pita!”

“Sama seperti Abdi. Bedanya Abdi ga perlu aku tungguin, karena dia datang untuk menungguku. Sedangkan kamu, Ru. Aku harus menunggu kamu puas dengan sikap playboy-mu dulu, baru kamu datang, begitu?”

Ia mengusap wajahnya dengan kasar. “Ru, maaf. Aku butuh lelaki yang menungguku dengan jiwa dan raganya. Bukan cuma kata-kata cinta dan janjinya. Doakan aku, ya, Ru, semoga pilihanku tepat.”

Daru memandangku lama. Aku tidak tau ia kecewa, ataupun hanya egonya yang terluka. Maafkan aku, Ru. Semoga kamu bahagia dengan jalanmu.

Dua minggu setelah kedatangan Daru, aku merasa semakin mantab dengan pilihanku. Insya Allah, Abdi adalah penghujung jalanku, akhir dari kisah dongengku.

“Saya terima nikahnya, Pitaloka Azzahra binti Sumarwan, dengan ....”

Ketika para saksi mengesahkan, dan lantunan alfatihah diucapkan. Air mata bahagia mengalir menyuarakan rasa lega. Alhamdulillah, dahagaku pada rasa cinta terhapus oleh seutas janji surga.

“Assalammualaikum, Istri.”

“Waalaikumsalam, Suami.”

Semoga tawa ini kekal, hingga renta bersama.

Short Story About LOVEWhere stories live. Discover now